CERBUNG.....
Bismillah…
Ketika mimpi mampu menjadikan seorang
yang tak mampu menjadi mampu, seorang yang lemah menjadi kuat. Disinilah mimpi
seorang gadis mengalahkan kerasnya
pergulitan dunia. Malam itu setelah shalat isya’, Diah masih bercumbu dalam
lamunanya. Keinginanya kuatnya untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang
lebih tinggi terus melekat dalam benaknya, bayangan gedung yang bertitahkan
kampus pendidikan mahasiswi terus menari-nari dalam anganya. Usaha demi usaha
yang telah dilakukan belum juga membuahkan hasil, Biasiswa Bidik Misi yang
terpaksa harus ia lepas karena tak mampunya ia mengeluarkan uang untuk biaya
asrama. Biasiswa kerja sama yang terpaksa juga ia relakan karena test yang
tidak bisa ia ikuti, tidak lain karena biaya ke kota yang ia sendiri tak mampu
memenuhi. Dan hari ini adalah usahanya yang kesekian kali untuk mencari
biasiswa kuliah, tepat pukul 2 siang tadi ia bersama wali murid menghadiri
pengumuman siswa-siswi yang tercantum dalam beasiswa di salah satu kampus di
Yogyakarta. Acara demi acara mereka ikuti dengan hikmat, hingga sampai pada
penyampaian biaya. Tampak wajah seorang lelaki tua itu mengerut, entah apa yang
ada dalam pikiranya, tak samapai arah jarum jam itu berpindah 5 menit ia terus merubah posisi duduknya,
sesekali melirik lembaran yang ada ditanganya. Disamping itu hati Diah
bergemuruh tak menentu, hatinya serasa ingin menjerit, meminta dengan
sepenuh-penuhnya. Wajahnya tertunduk lemas, semakin cemas melihat action yang
diperlihatkan seorang lelaki yang baru saja ia sebut sebagai bapak. Lisanya tak
henti bersenandungkan asma-Nya.
“Ya Rabbi, sungguh niatanku ini untuk
mencari ilmu, maka mudahkanlah jalan-Nya.
Ya Rabbi, Ridhoilah hamba untuk
membahagiakan orang tua hamba, ijinkan hamba menjunjung derajat orang tua hamba
Ya Rabb”. Air matanya tak mampu terbendung lagi. Rasanya ia sudah mengerti
jawaban apa yang akan ia dengar dari bapaknya.
“Yah,,,” Tanganya tepat berada diatas
pundak kiri Diah.
“Enggeh pak “ sebisa mungkin ia
menyembunyikan kesedihan dalam dirinya.
“ Bapak tahunya gratis. Apalagi
dibidang kesehatan mahal ya biayanya nduk, kalo kamu ambil biasiswa ini, uang
yang harus kita miliki sepuluh juta. Kira-kira bapak-ibumu mau dapat uang
darimana ya nduk.”
Semampu mungkin Diah menutupi
kesedihannya, keinginan yang harus ia tutup berbalutkan sabar.
“Enggeh pak, namanya juga bidang
kesehatan pak, memang mahal biayanya, itu juga Alhamdulillah karena sudah dapat
biasiswa, kalo full kan puluhan juta, tadi kalau tidak salah dengar, sepuluh
juta untuk biaya diponpesnya pak, itu artinya biaya penddidikanya sudah gratis,
dan itu juga kan selama 3 tahun pak.”
“ Ya sudah nanti bapak bicarakan sama
ibumu dulu nduk, bapak terusan pulang, kamu pulang ke pondok?”
“Enggeh pak, Diah dipondok dulu.”
Hatinya sungguh bergelut payah, diliriknya sahabat karibnya Ana tampak bahagia
bersama Ibunya. Sesekali tanganya melambai, dan jemarinya memberikan kode yang
bearti ibunya memberikan acc.
Hatinya semakin remuk, entah mau sedih
atau senang melihat sahabatnya itu. Rasa iri pun sempat menghampiri. Dari
belakang langkah kaki Bapaknya semakin tak terlihat, berlalu hilang bersama
keramaian. Tertinggal kata-kata yang terucap yang sama sekali tak ingin enyah
dari telinga Diah.
“Astaghfirullahal adzim…”
Langkahnya beranjak menuju mushola
disamping gedung. Air matanya menemani iringan langkah kakinya.
Dalam sujudnya Diah mengadukan
segalanya, gejolak hati yang tak mampu tertulis dalam kata-kata. Ia menangis,
menyuarakan jeritan hatinya. Rasa-rasanya ingin marah atas apa yang sudah
tertulis dalam kehidupanya.
Setelah hatinya merasa tenang,
diambilnya obat mujarab yang setia menemaninya. Ia baca dari kanan ke kiri,
dari ayat ke ayat sembari ia paksakan hatinya untuk tenang dan menerima.
“Diah…”Gertak suara ana dari belakang.
“Eh,,, kamu ini An. Idih yang dapat ACC
senengnya, senyum-senyum gitu”.
“ Alhamdulillah, kamu gimana? Babe ACC
kan? Tanya ana penasaran.
“Menurut kamu?
“Ya jelas dong di ACC, itu kan murah
Diah, bayangkan kesehatan lo…”
Tak menjawab Diah hanya tersenyum,
sambil merapikan mukenanya.
“ Ana, kamu tahu kan keadaan orang
tuaku, untuk makan sehari-hari aja masih seperti itu. Uang sepuluh juta bagi
keluargaku sangatlah banyak Ana.”
“Jadi? Kamu gak ambil biasiswanya Diah?
Ya Allah… sayang banget tidak gampang lo dapat beasiswa di kesehatan. Kamu itu
pandai Diah jangan kamu sia-siakan lagi tawaran biasiswa seperti
kemaren-kemaren.”
“Ana… Aku Cuma bisa berencana dan
berusaha, untuk hasil tetaplah Allah yang menentukan. Apalah daya Ana, aku
sudah berusaha sampai pada saat ini, tapi Allah belum berkehendak seperti apa
yang aku harapkan. Doakan aku untuk terus sabar, dan berusaha Ana.” Diah
mencoba menguatkan diri.
Ana memeluknya dengan tangisan.
“Sabar Diah, Allah tahu sedangkan kita
tidak. Tetap semangat, selama Allah masih mengijinkan kamu menghirup udara di
dunia ini, selama itu juga kamu harus berusaha mewujudkan apa yang diimpikan,
InshaAllah pertolongan Allah dekat, Allah tidak akan menguji hamba-Nya diluar
batas kemampuanya. Aku yakin akan Allah berikan jalan yang jauh lebih baik dari
semua ini. Semangat Diah.”
“Makasih Ana, aku bersyukur punya
sahabat seperti kamu. InshaAllah ingatkan aku selalu untuk terus
mengingat-Nya.” Tangis Diah kembali membanjir, ia merasa bersyukur memiliki
sahabat yang mampu menguatkan dia tanpa meninggalkan-Nya.
***
“Hey…ngelamunin apa mbak Diah, nanti
kesambet lo…”Sapa Mia yang sedari tadi mengamati Diah, Sambil menyodorkan
singkong rebus Mia mendekat.
“Makasih dik Mia” Jawabnya, dengan
tangan kanan mengambil singkong hangat yang terlihat menggiurkan.
“Terus rencana mbak kedepan mau giaman?
“Belum tahu dik, doakan semoga cepat
mendapat petunjuk ya, masih bingung nentuin arah.”
Drrett drrreetttt……
“ Mbak Diah, lihat ada banyak pesan.
Jangan melamun terus to yo”
“Ehmmm… iya dik Mia jelek.” Matanya
melirik layar HP satu-satunya yang menjadi barang berharga itu.
“Astaghfirullahaladzim, bukan pesan dik
Mia, ini telepon.” Matanya membelalak kaget, singkong yang sedari tadi memenuhi
mulut itu terpaksa harus keluar sebagian.
“Angkat dong mbak, kok malah ditaruh
dibawah bantal sih?. Tanya mia penasaran.
“Dari siapa mbak? Sambungnya.
Diah tak memberikan jawaban sama
sekali. Bukan mengangkat telepon, Diah malah pergi meninggalkan ruang tamu
pondok menuju kamar. Wajahnya berubah, seperti bingung, gelisah, senang, atau
entahlah sulit untuk diungkapkan.
“Ih.. mbak Diah ini kok aneh sih,
penasaran kan jadinya Mia “ tambah Mia yang semakin penasaran.
“Orang jelek gak boleh kepo ya dik”.
Jawab Diah dari balik kamar.
“Dari itu ya? Itu tu…”
“Dik Mia, jangan bikin gosip. Jadi
fitnah lo nanti, dosa besar.”Diah menjawab dibalik pintu kamar dalam posisi
masih bisa dilihat, tanganya memberikan isyarat diam kepada Mia.
“Yah mbak, Mia kan bercanda. Jangan
bawa-bawa dosa dong, takut kan.” Berlalu Mia pun akhirnya pergi menuju
kamarnya, tak lupa menenteng sepiring singkong rebus yang sedari tadi tak lepas
dari tanganya.
Didalam kamar hati Diah dirundung
kekacauan, tak ujarnya lisan terus berkomat-kamit menyuarakan istighfar,
berharap mendapat ketenangan. Sesekali berdiri, dan tiduran, mengambil buku dan
meletakkanya kembali. Bingung, tidak jelas mau berbuat apa. Astaghfirullah,,,
Selang beberapa saat ia memberanikan
diri mengambil hp yang tertindih bantal, bukan tertindih sebenarnya karena
memang sengaja Diah tindih.
Bismillah...
Jantungnya berdegup lebih kencang dari
biasanya. Jemarinya pun akhirnya memberanikan untuk menekan tombol tombol
keypet.
From : Akhi…
Assalamualaikum wr wb ukh,,,
Afwan, Saya memberanikan diri untuk
mengirim pesan lagi. Semoga ini tidak menjadi yang terakhir, dan semoga
berlanjut kiranya Allah menghendaki. Tidak ada manusia yang sempurna, sejatinya
hanyalah Ideal mendekati sempurna. Berawal dari apa yang dulu pernah saya
ungkapkan, saya merasa salah karena membuat keadaan menjadi seperti ini.
Belajar dari sahabat Ali, tak sedikitpun saya temui cinta dalam ungkapan
melainkan berlanjut serius menuju tali ikatan yang sah. Belajar dari Beliau
Yusuf As, tidak saya temui cinta dalam ungkapan kecuali bertahan demi
keridhoan-Nya. Maaf atas lisan yang pernah berucap ini, mohon keridhoan Allah
semoga ukhti berkenan untuk memaafkan dan mendoakan saya, agar kedepan saya
bisa lebih baik lagi. Jika kiranya memang Allah jodohkan kita nanti, InshaAllah
ada saat dimana semua yang pernah terucap ini akan kembali terucap bersama
janji dan tanggungjawab yang lebih. Pada ukhti dan pada Ilahi. Teruslah
memperbaiki diri, dan berhijrahlah tanpa henti.
Wassalamaualaikum…
Allahu Akbar…
Tidakkah manusia hidup tanpa lika-liku
yang terus mendampingi perjalananya. Hati Diah berkecamuk tak jelas, entah
ingin menangis atau tersenyum. Lisanya serasa ingin mengucapkan apa yang ia
rasakan, tanpa malu air matanya keluar membasahi pipinya. Diah mencoba
mengungkapkan seruan hatinya namun tetap saja tak bisa, tanpa pikir panjang ia
bergegas menuju kamar dan lagi-lagi ia harus mengambil obat mujarabnya. Tiada
basa-basi sedikitpun matanya mulai bergerak kian cepat kanan ke kiri secara berterusan.
Airmatanya tak kalah cepat mengalir membasahi wajahnya. Bacaan yang terdengar
terbata-bata mengambarkan gejolak hatinya yang tak jelas. Berselang bacaanya
terhentikan oleh istighfar, hingga akhirnya mata dan lisan pun memutuskan untuk
berhenti dalam istirahat malam, bersanding ketenangan hati setelah terobati.
Kukuruyukk…kukuruyukkkkk………ting
tong..ting tong…
“Astaghfirullahaladzim…jam berapa ini?”
Matanya terbelalak kaget melihat jarum jam yang ada dilayar HP.
03.05. Alhamdulillah,,, kirain tidak dapat
waktu qiyamullail.”
Dipancalnya selimut yang semalam
melindungi dari dinginya angin malam itu. Langkahnya masih sempoyongan, dahinya
berkerut mencoba mengingat-ingat sesuatu.
“Udah bangun Diah?” Senyumnya khas
dengan wajah yang masih original tanpa make up.
“Kamu semalem bobok jamberapa? Gak
selimutan, Al-Qur’an bersandingkan bantal. Lupa pasang alarm pula.” Tanya mbak
Ibah, si pengurus ponpes.
“Sukron mba, udah selimutin, udah
pasangin alarm juga. Diah ketiduran semalem, mungkin kecapekan.”
“Ya sudah, ambil air wudhu sana, nanti
waktunya keburu abis, jangan lupa berdoa.”
“Iya mbak.” Langkahnya bergerak
meninggalkan mbak Ibah yang sedang tadarusan.
Rutinitas dijalani seperti biasanya, Shalat berjamaah, piket, masak,
olahraga, ngaji dan sebagainya, tidak jauh berbeda saat ia berada di Panti
Asuhan dulu. Bahkan saat si Panti, Diah hanya mendapat waktu istirahat malam
sekitar 3-4 jam setiap harinya. Tidak
dengan istirahat siang maupun waktu-waktu lain. Meskipun demikian tidak
menjadikan Diah menjadi gadis yang cengeng dan ringkih, bahkan kehidupanya
menjadi teratur, dengan berusaha meniru apa yang telah Rosulullah ajarkan.
Seperti biasanya, setiap hari Minggu
adalah saat berkumpul semua anak-anak pondok. Kerja bakti, serta bersosial
kepada tetangga. Ponpes An-Nur belum lama didirikan, bermula dari susahnya
mencari tempat untuk halaqoh mingguan dan juga tempat untuk pertemuan, akhirnya
bersepakatlah pihak LAZIS dan pengurus lainya untuk mencari kontrakan. Tidaklah
luas, terdiri dari beberapa kamar, garasi, ruang tamu dan gudang yang digunakan
untuk membudidaya jamur tiram. Kontrakan yang sejatinya rumah itu kini
ditinggali oleh beberapa karyawan LAZIS dan
Komentar
Posting Komentar