Makalah HUbungan Kiai dan Santri
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Arus
modernisasi dewasa ini disadari ataupun tidak telah membawa berbagai macam
perubahan hampir di semua lini kehidupan. Salah satu perubahan konkret adalah
gencarnya penetrasi teknologi yang semakin memungkinkan manusia menjadi lebih
mudah melakukan aktivitas sehari-hari. Teknologi seperti halnya alat komunikasi
telah mampu mengubah persepsi masyarakat akan batas-batas ruang teritorial yang
selama ini dianggap hampir tak terjangkau.
Pada
sisi yang lain, modernisasi juga telah secara pelan tapi pasti mengubah kultur
lokal menjadi lebih terbuka dengan mengikuti perubahan yang terjadi. Pada titik
ini, budaya lokal yang dianggap sakral oleh masyarakat dan selalu dijadikan
pijakan dalam setiap tindakannya lambat laun mengalami pergeseran. Pesantren
sebagai lembaga Islam tradisional tertua di Indonesia juga telah melakukan
transformasi. Perubahan telah menyentuh institusi ini. Pesantren yang pada
dasarnya merupakan subkultur dalam kehidupan setelah masyarakat, telah bergeser
perannya tidak sekedar lembaga yang mencetak kyai atau ulama dan intelektual
muslim yang diharapkan dapat melanjutkan cita-cita para pendahulunya untuk
memajukan umat Islam secara keseluruhan.
Perubahan dimaksud salah satunya dapat kita lihat dari pola hubungan kyai-santri yang pada awalnya kita kenal bersifat patron-client yang mengandaikan pola hubungan guru-murid. Sebagai guru, kyai tidak hanya dikenal sebagai sosok yang mumpuni dalam ilmu pengetahuan agamanya serta memiliki akhlakul karimah, namun pada sisi yang lain kyai juga mempunyai pengaruh yang sangat luas di dalam masyarakat melalui kharisma yang mereka miliki. Tak pelak, kyai merupakan figur dambaan umat dan senantiasa mendapat tempat yang mulia dan tinggi dalam struktur masyarakat.
Perubahan dimaksud salah satunya dapat kita lihat dari pola hubungan kyai-santri yang pada awalnya kita kenal bersifat patron-client yang mengandaikan pola hubungan guru-murid. Sebagai guru, kyai tidak hanya dikenal sebagai sosok yang mumpuni dalam ilmu pengetahuan agamanya serta memiliki akhlakul karimah, namun pada sisi yang lain kyai juga mempunyai pengaruh yang sangat luas di dalam masyarakat melalui kharisma yang mereka miliki. Tak pelak, kyai merupakan figur dambaan umat dan senantiasa mendapat tempat yang mulia dan tinggi dalam struktur masyarakat.
Sebaliknya,
sebagai seorang murid, santri merupakan elemen dalam tradisi pesantren yang
kedudukannya lebih rendah dari kyai. Sebagai pengikut, santri harus senantiasa
taat, tawadu dan hormat kepada gurunya. Santri dalam kehidupan sehari-harinya
harus senantiasa mengikuti apa yang dititahkan oleh seorang kyai. arus
modernisasi telah sedikit banyak membawa pergeseran pada peran kyai dan santri
di pesantren sehingga kultur yang selama ini tumbuh subur kemudian mengalami
degradasi akibat perkembangan global.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana karakteristik Pondok Pesantren?
2. Bagaimana pola hubungan santri dan Kyai?
3. Bagaimana perubahan yang terjadi antara santri dan Kyai?
1. Bagaimana karakteristik Pondok Pesantren?
2. Bagaimana pola hubungan santri dan Kyai?
3. Bagaimana perubahan yang terjadi antara santri dan Kyai?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Karakteristik Pesantren
a.
Pesantren atau PondokPesantren
Pesantren atau pondok pesantren adalah lembaga pendidikan
dan keagamaan Islam. Istilah pondok diperkirakan berasal dari bahasa Arab,
yaitu funduk yang berarti rumah penginapan atau hotel. Dalam konteks masyarakat
Jawa, pemahaman tentang pesantren serupa dengan padepokan yang di dalam
lingkungannya terdapat komplek perumahan untuk tempat tinggal para santri
(murid). Perumahan itu biasanya berupa petak-petak kamar selayaknya asrama. Pada
umumnya komplek pesantren terdiri dari rumah kiai, masjid, pondok tempat
tinggal santri, dan ruangan belajar. Zamakhsyari Dhofier menjelaskan bahwa
pesantren berasal dari kata santri. Awalan pe- dan akhiran -an pada kata
pesantren bermakna "tempat tinggal para santri".
Dalam pandangan Gus Dur (Abdurrahman Wahid), pesantren
merupakan lingkungan kehidupan yang unik secara lahiriah. Di lingkungan
pesantren biasanya berdiri beberapa buah bangunan, yaitu rumah pengasuh, surau
atau masjid, tempat belajar-mengajar atau madrasah yang berkonotasi sekolah, dan
asrama tempat tinggal santri. Berdasar pola kehidupannya sehari-hari yang
sangat berbeda dengan pola hidup masyarakat di luarnya, pesantren dapat
dikatakan sebagai subkultur. Misalnya, komunitas pesantren menandai waktu tidak
dengan istilah pagi, siang, sore atau malam seperti dipakai masyarakat umum,
tetapi dengan istilah berdasarkan siklus shalat lima waktu seperti subuh,
dhuhur, ashar, dan maghrib.Keunikan pesantren sebagai subkultur yang dimaksud
Abdurrahman Wahid tersebut menyangkut tata nilai, cara dan pandangan hidup,
serta hirarki kekuasaan tertentu di antara santri (murid) dan pengasuh
(kiai/guru) serta masyarakat sekitarnya. Namun, tidak berarti komunitas
pesantren terpisah atau memisahkan diri dari lingkungan masyarakat di
sekitarnya. Pesantren merupakan sumber penting bagi pendidikan humaniora di
perdesaan. Sebagaimana istana, pesantren dapat menjadi pusat kegiatan atau
kreatifitas masyarakat. Tradisi pesantren di Jawa, misalnya, yang memiliki bentuk
tersendiri merupakan sebuah subkultur dalam kebudayaan Jawa. Pola ini tentunya
tidak jauh berbeda dengan tradisi pesantren di luar Jawa. Apalagi, usia tradisi
pesantren setara dengan usia masuknya Islam ke Indonesia. Oleh sebab itu,
pesantren menjadi bagian dari mata rantai pendidikan Islam universal. Selain
dari sumber-sumber lokal, pesantren juga mendapat pasokan ilmu dan pengetahuan
dari sumber-sumber asing.
Istilah pondok, pesantren, dan santri sendiri masih banyak
diperdebatkan oleh kalangan peneliti pesantren, tetapi polemik itu berkisar
masalah definisi dan asal-usul kata. Substansi pesantren sebagai lembaga
pendidikan Islam di Nusantara yang bersifat konsentrasi atau spesial tidak
menjadi keraguan.
Eksistensi pesantren terbukti dalam rentang sejarah yang cukup panjang. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren dapat menembus ruang-masa yang berat, yaitu zaman penjajahan yang kejam dan zaman kemerdekaan yang penuh konflik. Pengalaman itulah yang membentuk karakter atau ciri khas pesantren yang tidak dimiliki lembaga pendidikan nonpesantren. Dalam sepanjang masa perjalanannya pesantren tetap diminati dan menjadi pilihan utama bagi generasi muda muslim. Pesantren telah membentuk citra tersendiri karena ketahanan karakternya.
Eksistensi pesantren terbukti dalam rentang sejarah yang cukup panjang. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren dapat menembus ruang-masa yang berat, yaitu zaman penjajahan yang kejam dan zaman kemerdekaan yang penuh konflik. Pengalaman itulah yang membentuk karakter atau ciri khas pesantren yang tidak dimiliki lembaga pendidikan nonpesantren. Dalam sepanjang masa perjalanannya pesantren tetap diminati dan menjadi pilihan utama bagi generasi muda muslim. Pesantren telah membentuk citra tersendiri karena ketahanan karakternya.
Karakteristik pesantren dapat dilihat dari pola umum
pendidikan Islam tradisional, tradisi rihlah (perjalanan mencari ilmu), dan
sistem pengajaran. Karakter yang lain dari pesantren yang disebut sebagai great
traditions atau tradisi yang agung, seperti barokah dan pahala-pahala. Fenomena
lain dari pesantren yang menjadi khas adalah jiwanya, yaitu ruh yang mendasari
dan meresapi seluruh kegiatan yang dilakukan oleh segenap civitas akademika
pesantren. Ruh tersebut terumus dalam prinsip yang disebut panca jiwa
pesantren, yaitu 1) keikhlasan; 2) kesederhanaan; 3) persaudaraan; 4) mandiri;
dan 5) merdeka atau otonom.
Selain itu, terdapat elemen-elemen yang harus dimiliki sebuah pesantren, yaitu pondok, masjid, pengajaran kitab-kitab Islam klasik, kiai sebagai pendiri dan pimpinan, dan tentu saja santri sebagai siswa penuntut ilmu.
Selain itu, terdapat elemen-elemen yang harus dimiliki sebuah pesantren, yaitu pondok, masjid, pengajaran kitab-kitab Islam klasik, kiai sebagai pendiri dan pimpinan, dan tentu saja santri sebagai siswa penuntut ilmu.
b.
Kyai
Istilah pengasuh di Jawa disebut kiai; di Sunda disebut
ajengan; di Madura disebut nun atau bendara yang disingkat ra; di Aceh disebut
tengku, di Sumatera Utara atau Tapanuli disebut syaikh, di Minangkabau disebut
buya, di Nusa Tenggara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, atau Kalimantan
Tengah disebut tuan guru, dan beragam sebutan lagi di berbagai daerah di
Nusantara.Khusus istilah kiai terdapat banyak makna, antara lain 1) sebutan
untuk alim ulama atau cerdik pandai dalam agama Islam; 2) sebutan untuk guru
ilmu ghaib atau dukun; 3) sebutan untuk kepala distrik di Kalimantan Selatan;
4) sebutan untuk benda-benda bertuah, seperti senjata, gamelan, kereta, dan
lain-lain; dan 5) sebutan untuk hewan-hewan bertuah, seperti harimau, buaya,
dan lain-lain.
Dalam bahasa Jawa, istilah kiai digunakan sebagai gelar
kehormatan untuk benda-benda keramat, untuk panggilan hormat pada orangtua
umumnya, dan gelar untuk orang yang ahli agama Islam atau pemimpin pesantren.
Namun, ada pula orang yang ahli dalam agama Islam dan memiliki amalan-amalan
ibadah yang kuat serta berpengaruh di masyarakat juga disebut kiai, meski tidak
meminpin pesantren, seperti Kiai Ali Yafie, Kiai Abdul Muchith Muzadi, Kiai
Yasin Yusuf, atau Kiai Zainuddin MZ.
c.
Santri
istilah santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru
mengaji. Pengertian lain tentang istilah santri berasal dari bahasa India,
yaitu shastri yang mengacu pada orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu.
Kata shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku
agama, atau buku-buku ilmu dan pengetahuan.
2.
Pendidikan di Pondok Pesantren
a.
Ciri-ciri Pendidikan di Pondok Pesantren :
-
Adanya hubungan akrab antara santri
dengan kiainya
-
Kepatuhan santri dan kiai
-
Hidup hemat dan sederhana
benar-benar diwujudkan dalam lingkungan pesantren
-
Kemandirian amat terasa di pesantren
-
Jiwa tolong menolong dan suasana
persaudaraan sangat mewarnai pergaulan di pesantren
-
Keprihatinan untuk mencapai tujuan
b.
Prinsip-prinsip pendidikan pondok pesantren
Nurcholis Madjid
(dalam Nata 2001:113) menjelaskan setidaknya ada 12 prinsip yang melekat pada pendidikan pesantren, yaitu :
- Teosentrik
- Ikhlas dalam pengabdian
- Kesederhanaan
- Kolektifitas (barakatul jama’ah)
- Mengatur kegiatan bersama
- Kebebasan terpimpin
- Kemandirian
- Tempat menuntut ilmu dan mengabdi
- Mengamalkan ajaran agama
- Belajar di pesantren bukan mencari sertifikat/ijazah saja
- Kepatuhan terhadap kyai
- Teosentrik
- Ikhlas dalam pengabdian
- Kesederhanaan
- Kolektifitas (barakatul jama’ah)
- Mengatur kegiatan bersama
- Kebebasan terpimpin
- Kemandirian
- Tempat menuntut ilmu dan mengabdi
- Mengamalkan ajaran agama
- Belajar di pesantren bukan mencari sertifikat/ijazah saja
- Kepatuhan terhadap kyai
3.
Pola Hubungan Kyai dan santri
Mendengar
istiah pesantren, orang pasti akan berfikir tentang sebuah lembaga pendidikan
agama yang identik dengan keberadaan kyai dan santridimana ilmu-ilmu agama
dalam kitab kuning dibaca, dihafal dan dikaji. Pesantren merupakan sebuah
komunitas kehidupan yang unik jika dilihat dari pandangn sosiologi dan
kebudayaan, yakni sebuah komunitas dimana masyarakatnya membentuk ikatan mata
rantai terpusat dengan aktivitas tertentu. Masing-masing masyarakat satu sama
lain mempunyai suatu hubungan yang istimewa yang jarang dijumpai pada
masyarakat kebanyakan.
Ada
beberapa keunikan yang terdapat di pondok pesantren, diantaranya dilihat dari
lokasinya pesantren adalah sebuah kompleksitas lokasi yang umumnya terpisah
dari kehidupan sekitarnya yang terdiri dari komplek-komplek santri dan masjid
atau kelas-kelas sebagai tempat untuk mengaji dan yang unik lagi dari semua
pesantren yang ada yaitu di dekat lokasi-lokasi tersebut pasti berdiri rumah
sang kyai. Keberadaan santri juga tidak kalah unik, kata santri juga bisa
dinisbatkan pada bahasa jawa cantrik, yang artinya adalah selalu mengikuti
kemana gurunya pergi, jadi dapat disimpulkan bahwa santir adalah seseorang yang
tunduk dan patuh kepada gurunya bahkan mau melayani dan ngawulo kepada
guru/kyainya.
Tidak
dipungkiri pesantren mempunyai kekuatan (power) yang dapat diandalkan, yaitu
kyai sebagai pemimpin pesanren dan pesantren sendiri sebagai institusi dan
sistem. Ada dua hal menurut Horikhosi yang mengakari kekuatan kyai yaitu
kredibilitas moral dan kemampuan mempertahankan pranata sosial yang diinginkan.
Gelar kyai tidak semata-mata diberikan pada ulama yang mempunyai kedudukan,
wibawa dan pengaruh yang sama akan tetapi diberikan oleh masyarakat muslim
karena kealiman dan pelayanan yang diberikannya kepada masyarakat. Ahmad Tafsir
menambahkan bahwa kewibawaan kyai juga bersumber dari kemampuan-kemampuan supra
rasional yang dimilikinya. Walaupun sebenarnya sulit untuk membuktikan
kebenarannya, namun kepercayaan masyarakat akan hal tersebut cukup besar dan
sangat mempengaruhi dalam menghimpun kekuatan kyai.
Selanjutnya
Ahmad Tafsir dengan mengutip pendapat Geertz mengemukakan kemampuan pesantren
dalam mengontrol perubahan nilai yang juga tak lepas dari peran kyai sebagai
penyaring informasi yang masuk ke lingkungan kaum santri, mengajarkan hal-hal
yang berguna dan membuang yang merusak. Pada saat seperti ini, kemampuan kyai
pesantren telah terbukti dalam mengontrol nilai dan kebudayaan. Seberapa
derasnya arus informasi yang masuk pesantren, Kyai tidak akan pernah kehilangan
peranannya senyampang masih mampu menjaga pranata-pranata sosial dan perlunya
perhatian dari tokoh-tokoh lain untuk memperkuat kyai dalam menjaga
pranata-pranata itu.
Sebuah
tulisan Gus Dur tentang pola relasi kyai-santri di dalam tradisi pesantren menyatakan
tidak pernah dikenal istilah mantan santri atau mantan kyai. Hubungan
kyai-santri adalah hubungan yang akan terus melekat sampai akhirat kelak.
Seorang santri, ketika sudah keluar dari pondok, entah untuk tujuan studi atau
terjun ke masyarakat, akan terus mengemban amanah kesantriannya dan menyandang
nama kyai sebagai gurunya. Meskipun seandainya setelah itu tidak pernah terjadi
kontak fisik, secara batin sang kyai sebenarnya terus menyertainya lewat doa
dan barakah yang terus mengalir. Begitu juga sang santri bisa dikatakan sudah
sowan jika setiap saat memegang teguh ajaran kyainya dan tidak lupa berkirim
al-fatihah dan doa. Jika sang santri sampai akhir hayatnya tetap berpegang
teguh kepada ajaran kyainya, di akhirat kelak dia akan berkumpul di satu tempat
bersama sang kyai.
4.
Perubahan pola hubungan Kyai dan santri
Perubahan dimaksud salah satunya
dapat kita lihat dari pola hubungan kyai-santri yang pada awalnya kita kenal
bersifat patron-client yang mengandaikan pola hubungan guru-murid. Sebagai
guru, kyai tidak hanya dikenal sebagai sosok yang mumpuni dalam ilmu
pengetahuan agamanya serta memiliki akhlakul karimah, namun pada sisi yang lain
kyai juga mempunyai pengaruh yang sangat luas di dalam masyarakat melalui
kharisma yang mereka miliki. Tak pelak, kyai merupakan figur dambaan umat dan
senantiasa mendapat tempat yang mulia dan tinggi dalam struktur masyarakat.
Sebaliknya, sebagai seorang murid, santri merupakan elemen dalam tradisi pesantren yang kedudukannya lebih rendah dari kyai. Sebagai pengikut, santri harus senantiasa taat, tawadu dan hormat kepada gurunya. Santri dalam kehidupan sehari-harinya harus senantiasa mengikuti apa yang dititahkan oleh seorang kyai.
Sebaliknya, sebagai seorang murid, santri merupakan elemen dalam tradisi pesantren yang kedudukannya lebih rendah dari kyai. Sebagai pengikut, santri harus senantiasa taat, tawadu dan hormat kepada gurunya. Santri dalam kehidupan sehari-harinya harus senantiasa mengikuti apa yang dititahkan oleh seorang kyai.
Mengapa santri harus tunduk dan
patuh pada kyai, hal ini didasarkan atas asumsi bahwa kyai merupakan sumber
ilmu pengetahuan di pesantren dan penjaga moral santri, sehingga tidak patuh
terhadap kyai berarti mereka telah merusak tradisi pesantren yang telah
dibangun ratusan tahun lamanya, dan hal ini akan dianggap sesuatu yang tidak
wajar.
Perubahan relasi kyai–santri dapat kita lihat dalam ketundukan seorang santri yang mulai berkurang sebagai akibat oleh bergesernya peran kyai di dalam pesantren maupun masyarakat. Sosok kyai yang dahulu disegani dan berpengaruh karena memiliki kharisma yang jarang dimiliki orang lain, mulai bergeser ketika mereka merambah ke wilayah politik dengan ikut berperan dalam kegiatan politik praktis.
Pada sisi yang lain, seiring dengan demokratisasi di Indonesia dan kesempatan pendidikan yang tinggi oleh santri, banyak komunitas santri yang mulai tercerahkan. Hal ini bisa kita lihat dari cara berpikir mereka yang semakin kritis, independen dan kreatif. Hal ini tenyata berimbas terhadap hubungan kyai-santri yang tidak lagi seperti dahulu di mana saat ini santri telah berani mengkritisi apapun yang dilakukan kyainya yang dianggap melenceng.
Perubahan relasi kyai–santri dapat kita lihat dalam ketundukan seorang santri yang mulai berkurang sebagai akibat oleh bergesernya peran kyai di dalam pesantren maupun masyarakat. Sosok kyai yang dahulu disegani dan berpengaruh karena memiliki kharisma yang jarang dimiliki orang lain, mulai bergeser ketika mereka merambah ke wilayah politik dengan ikut berperan dalam kegiatan politik praktis.
Pada sisi yang lain, seiring dengan demokratisasi di Indonesia dan kesempatan pendidikan yang tinggi oleh santri, banyak komunitas santri yang mulai tercerahkan. Hal ini bisa kita lihat dari cara berpikir mereka yang semakin kritis, independen dan kreatif. Hal ini tenyata berimbas terhadap hubungan kyai-santri yang tidak lagi seperti dahulu di mana saat ini santri telah berani mengkritisi apapun yang dilakukan kyainya yang dianggap melenceng.
Kharisma yang dianggap sebagai
senjata ampuh untuk mempengaruhi santri juga pada tataran tertentu tidak lagi
menemukan relevansinya pada saat sekarang. Sehingga praktis, kyai sekarang
sudah mulai kehilangan pengaruhnya akibat perannya dalam politik praktis.
Konflik Gusdur-Muhaimin dalam tubuh PKB bisa kita analogikan sebagai salah satu
contoh melenturnya hubungan kyai-santri sebagai akibat ratio excess irratio,
atau cara berfikir logis dalam kerangka rasionalitas, yang menjadi faktor
penting dalam memutuskan sesuatu dalam hubungan kekerabatan sebagai dominasi
pengaruh kharismatik seseorang.
BAB III
KESIMPULAN
Era globalisasi yang membawa bendera
liberal tidak hanya mempengaruhi aspek-aspek secara umum saja, namun juga
membawa dampak yang signifikan pada pola kehidupan di pesantren yang identik
dengan hubungan kekerabatan antara kyai dan santri yang unik. Pengaruh yang
dimaksud salah satunya dapat dilihat dari pola hubungan kyai-santri yang pada
awalnya dikenal bersifat patron-client yang mengandaikan pola hubungan
guru-murid dan bahkan ada istilah santri ngawulokepada kyai, saat ini mulai
terjasi pergeseran.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi
terjadinya pergeseran tradisi yang melekat pada kehidupan pesantren tersebut,
diantaranya disebabkan memudarnya kharisma seorang kyai yang pada awalnya hanya
mengajar ilmu-ilmu agama pada santrinya kemudian mencoba terlibat dalam politik
praktis yang secara tidak langsung hal itu bertentangan dengan kehidupan di
pondok pesantren yang mengedepankan kerukunan dan keakraban, beda dengan dunia
politk yang terkenal bisa sikut kanan kiri. Selain faktor dari sosok kyai yang
berpolitik, faktor lain yang berpengaruh juga bisa berasal dari santri yang
mulai mengenal arus globalisasi yang demikian pesatnya sehingga lupa pada
konsep dasar pendidikan di pondok pesantren, sehingga timbul pikiran baru yaitu
tidka perlu tunduk secara penuh pada kyai, dan hal semacam ini bisa muncul saat
masih mondok di pesantren ataupun setelah keluar dari pesantren dan lepas dari
pengawasan kyai. Padahal mengutip pernyataan Gus Dur “tidak ada mantan kyai
atau mantan santri”.
DAFTAR PUSTAKA
Hasyim, M. Affan. MENGGAGAS
PESANTREN MASA DEPAN, geliat suara santri untuk Indonesia baru. (Qirtas :
Yogyakarta), 2003
Thoha, Zainal Arifin. RUNTUHNYA SINGGASANA KIAI (NU, Pesantren dan Kekuasaan: Pencarian Tak Kunjung Usai), Yogyakarta, 2003
Komentar
Posting Komentar