Analisis Historis Metode Dakwah Wali Songo



BAB I
PENDAHULUAN
1.      Pendahuluan
Masuk dan berkembangnya agama Islam di Indonesia terjadi secara damai. Dalam sejarah Indonesia tercatat bahwa tidak pernah ada kekuatan asing baik dari negeri Arab maupun India yang memaksa bangsa Indonesia untuk memeluk agama Islam. Agama tersebut masuk ke Indonesia melalui proses perdagangan yang di lakukan oleh para pedagang Islam. Begtu juga dengan bangsa Indonesia yang memeluk agama tersebut secara sukarela tanpa ada paksaan dari para pedagang atau para penyebar agama Islam. Masuknya agama tersebut telah menambah kekayaan kebudayaan Indonesia serta keterapilan baru di bidang ekonomi perdagangan antarpulau maupun antar negara. Karena pengaruh tersebut, bangsa Indonesia mengalami kejayaan di bidang tersebut pada masa tumbuh dan berkembangnya kerajaan-kerajaan yang bercorak islam.
Selain penyebaran secara “natural” yaitu, melalui proses perdagangan, penyebaran Islam juga terjadi melalui usaha-usaha nyata yang dilakukan oleh orang-orang yang berkewajiban untuk menyebarkannya. Penyebaran tersebut dilakukan oleh para wali atau yang biasa kita sebut dengan wali songo.  Penyebaran oleh para ulama’-ulama’ ini saat itu hanya di puau Jawa saja.
Dengan demikian, untuk dapat lebih jelas lagi. Dalam kesempatan ini, pemakalah akan membahas bagaimana kajian yang di lakukan oleh para penyebar Islam di Indonesia, yang pada keempatan ini pemakalah akan mengkhususkan tentang kajian penyebaran dakwah oleh para Walisongo..
2.      Rumusan Masalah
1)      Apa pengertian Walisongo?
2)      Bagaimana biografi tentang Walisongo?
3)      Bagaimana Kajian dan Analisis Metode Dakwah yang dilakukan oleh Walisongo?

3.      Tujuan Pembahasan
1)      Untuk mengetahui pengertian Walisongo.
2)      Untuk mengetahui biografi tentang Walisongo.
3)      Untuk mengetahui tentang kajian dan analisis metode dakwah yang dilakukan oleh Walisongo.















BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian wali songo
Kata “wali” berasal dari bahasa Arab yang artinya pembela, teman dekat, dan pmimpin. Dalam pemakaiannya wali biasanya di artikan sebagai orang yang dekat dengan Allah SWT. Adapun kata “songo” berasal dari bahasa Jawa yang artinya sembilan. Maka, Wali Songo secara umum diartikan sebagai sembilan wali yang dianggap telah dekat dengan Allah SWT. terus-menerus beribadah kepadanya serta memiliki kemampuan-kemampuan di luar kebiasaan manusia. Wali songo sangat berperan penting dalam penyebaran Islam di Indonesia khususnya di Jawa. Cara penyebaran Islam yang dilakukan oleh para wali songo sangat menarik. Mereka mampu menggunan metode-metode yang memudahkan ajaran Islam diterima oleh berbagai golongan maayarakat.
2.      Biografi dan Sejarah Wali Songo
Dalam penyiaran Islam di Jawa, wali songo dianggap sebagai kepala kelompok dari sejumlah besar  mubalight Islam yang mengadakan di daerah-daerah yang belum memeluk agama Islam. Mereka adalah : Sunan Gresik, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati. Untuk lebih mengenal Wali Songo, kepribadian dan ketinggian akhlaknya, di bawah ini akan diuraikan perjuangan dan bagaimana kajian dakwah yang di pakai oleh masing-masing dari kesembilan wali sogo tersebut sebagai berikut ini : 
a)      Sunan Gresik
Nama aslinya adalah Maulana Malik Ibrahim, wafat di Gresik, 12 Raiul awal 822/8 April 1419). Salah seorang dari wali songo yang di yakini sebagai pelopor penyebaran Islam di Jawa. Ia juga di kenal dengan nama Maulana Maghribi atau Syekh Maghrib, karena di duga berasal dari wilayah Maghribi, Afika Utara. Adapula yang mengenalnya sebagai Jumadil Kubra. Akan tetapi, masyarakat umum di Jawa lebih mengenalnya sebagai Sunan Gresik, karena tempat tinggal untuk menyiarkan agama Islam dan pemakamannya berada di daerah Gresik. Maulana Malik Ibrahim sudah belajar agama Islam sejak kecil, karena beliau dilahirkan dan di besarkan di tengah keluarga Muslim yang taat beragama. Setelah dewasa, beliau menikah dengan seorang putri bangsawan bernama Dewi Candrawulan, putri pertama Ratu Campa yang telah menganut agama Islam dan merupakan istri Brawijaya, raja Majapahit terakhir.
Ketika pertama kali beliau datang ke Jawa, pada umumnya masyarakat itu adalah pemeluk agama Hindu/Budha dan berada di bawah pemerintahan kerajaan Majapahit. Masyarakat menganut struktur social yang berkasata, yaitu kasta Sudra, kasta Waisya,bkasta Ksatria, dan kasata Brahmana. Sebelum menyiarkan agama Islam, beliau mendekati penduduk setempat untuk mengenal adat istiadatnya terlebih dahulu. Dengan cara itu, Islam mudah di terima oleh golongan yang menjadi sasaran penyebaran.
Metode dakwah yang beliau terapkan cukup unik dan tepat, yaitu dengan membuka warung untuk berjualan kebutuhan sehari-hari dengan harga murah, juga mengadakan pengobatan gratis. Beliau juga membangun masjid dan pondok pesantren di dusun Pesucian, sekitar 9 km utara Kota Gresik pada tahun 801  H/1392 M. Beliau mencoba merangkul masyarakat bawah, yaitu kasta terendah dalam budaya Hindu. Metode ini ternyata berhasil, terbuktisedikit demi sedikit masjid yang di bangun beliau ramai di kunjungi warga yang sudah memeluk agama Islam. Dan Islam pun berkembang di pulau Jawa, bahkan di daerah-daerah Nusantara.
b)      Sunan Ampel (Campa, Aceh, 1401-Ampel,Surabaya,1481)
Nama aslinya Raden Rahmat Istrinya adalah seorang putri Tuan yang bernama Nyai Ageng Manila. Dari pernikahan itu beliau mempunyai 4 orang anak, dan dua diantaranya adalah sunan yang tergabung dalam wali songo. Sunan Ampel adalah penerus cita-cita dan perjuagan Maulana Malik Ibrahim. Beliau memulai aktivitasnya dengan mendirikan pesantren di Ampel Denta, Surabaya. Sehingga beliau dikenal dengan Pembina pondok pesantren pertama di Jawa Timur. Di pesantren inilah beliau mendidik para pemuda Islam untuk menjadi tenaga da’i yang akan di sebar keseluruh Jawa. Sebagai seorang ulama yang giat berdakwah, Sunan Ampel mempunyai  ajaran yang terkenal dngan sebutan “molimo” . “Mo” berarti tidak mau, sedangkan limo adalah 5 perkara. Jadi, “molimo” adalah tidak mau melakukan 5 perkara yang terlarang. Kelima ajaran Sunan Ampel itu adalah:
1. Emoh Main, artinya tidak mau main judi
2. Emoh Ngumbi, artinya tidak mau minum-minuman yang memabukka.
3. Emoh Madat, artinya tidak mau mengisap candu atau ganja.
4. Emoh Maling, artinya tidak mau mencuri atau Kolusi.
5. Emoh Madon, artinya tidak mau main perempuan yang bukan isterinya (zina).
Menurut Babad Diponegoro, Sunan Ampel sangat berpengaruh dikalangan istana Majapahit. Kedekatan beliau tersebut memebuat penyebaran Islam di Daerah kekuasaan Majapahit, khususnya di pantai utara Pulau Jawa, tidak mendapat hambatan yang berarti, bahkan mendapat izin dari penguasa  kerajaan. Sunan Ampel tercatat sebagai perancang kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa  dengan ibu Kota Bintoro, Demak. Beliaulah yang mengangkat Raden Fatah sebagai sultan pertama Demak, yang di pandang punya jasa paling besar dalam meletakkan peran politik umat Islam di Nusantara. Disamping itu, beliau juga ikut mendirikan Masjid Agung Demak pada tahun 1479.

c)      Sunan Giri (Blambangan, pertengahan abad ke 15- Giri, 1506)
Nama aslinya  Raden Paku, dikenal juga dengan sebutan Prabu Satmata, kadang-kadang disebut juga dengan Sultan Abdul Fakih. Di kenal sebagai Sunan Giri, karena beliau, mendirikan pesantren di dekat sebuah gunung yaitu gunung giri dan berdakwah disana sampai akhir hayatnya dan dimakamkan disana. Beliau adalah putra dari Maulana Ishak (adik dari Maulana Ibrahim). Ibunya bernama Dewi Sekardadu dari Blambangan. Raden Paku di angkat anak oleh seorang wanita kaya bernama Nyai Gede Maloka, Babad Tanah Jawa disebut Nyai Ageng Tandes. Beranjak dewasa Raden Paku belajar agama  di Pondok Pesantren Ampel Denta pimpinan Sunan Ampel. Di sana beliau menjadi teman akrab dengan putra Sunan Ampel yaitu Maulana Makdum Ibrahim.
Dalam perjalanan beliau ke haji bersama Sunan Bonang, mereka terlebih dahulu memperdalam ilmu pengetahuan di Pasai, yang ketika itu menjadi tempat berkembangnya  ilmu ketuhanan, keimanan, dan tasawuf. Di sinilah Raden Paku sampai pada tingkat ilmu laduni, sehingg gurunya menganugrahkan gelar ‘Ain al-Yaqin. Sebagai seorang ulama yang wara’,Sunan Giri sangat-sangat berhati-hati dalam memutuskan  masalah ubudiyah. Dalam masalah ini beliau berpegang teguh pada ajaran al-Qur’an dan Hadis. Bahkan beliau berpendapat “bahwa ibadah mau tidak mau harus sesuai dengan ajaran Nabi saw, tidak booleh di campur adukan  dengan adat istiadat yang bertolakk belakang dengan ajaran tauhid”. Pendapatnya itu dilandasi oleh firman Allah:
“Dan sembahlah Allah dan janganlah Kamu mempersekutukan-Nya…”(QS. An Nisa : 36)
Sunan Giri terkenal sebagai pendidik yang berjiwa demokrasi, beliau mendidik anak-anak melalui berbagai permainan yang berjiwa agama, misalya jelungan, jamuran, gendi ferit, jor, gula ganti, cublak-cublak suweng, ilir-iilir, dan sebagainya. Beliau juga dipandang sebagai orang yang sangat berpengaruh terhadap jalannya roda Kesultanan Demak Bintiro (kesultanan demak)., sebab setiap kali muncul maalah penting yang harus diputuskan, wal yang lain selalu menantikan kepuutusan dan pertimbangannya.

d)     Sunan Bonang (Ampel Denta, Surabaya, 1456-Tuban, 1525).
Sunan Bonang dikenal dengan nama Raden Maulana Makhdum Ibrahimm, atau Raden Ibrahim (Makhdum adalah gelar yang bisa di berikan kepada seorang ulama besar di India, dan berarti orang yang dihormati). Kemudian beliau menikah dengan Dewi Hiroh, beliau memperoleh seorang putri yang bernama Dewi Rukhil yang kemudian di persunting oleh Sunan Kudus.
Dalam kegiatan dakwahnya, beliau telah berhasil mengubah jalan Raden Syahid dari kesesatan kemudian beliau  membimbing Raden Syahid dalam masalah keagamaan sehingga Raden Syahid menjadi seorang alim  yang kemudian dikenal dengan julukan Sunan Kalijaga. Kegiatan dakwah Sunan Bonang dipusatkan di sekitar Jawa Timur, terutama di daerah Tuban. Beliau mendirikan Masjid Sangkal Dhaha. Dalam aktivitas dakwahnya, beliau  beliau mengganti nama dewa-dewa dengan nama nabi dan malaikat dalam Islam dengan maksud agar penganut agama Hindu dan Budha mudah diajak masuk agama Islam. Mengingat orang-orang Hindu/Budha gemar memainkan seni gamelan Jawa, maka Sunan Bonang menambahi dengan instrumen Bonang. Lirik-lirik tembang yang diciptakannya sarat akan nilai-nilai ketuhanan. Tembang Tombo Ati adalah salah satu karya beliau yang fenomenal. Tembang itu dipopulrkan oleh Emha Ainun Najib sekitar tahun 1990, dan semakin populer setelah dinyanyikan dan diaransemen oleh Opick.
Ajaran Sunan Bonang berintikan filasafat cinta atau isyq. Menurutnnya, cinta sama dengan iman yaitu pengetahuan intutif (ma’rifat) dan kepatuhan kepada Allah SWT. Ajaran tersebut di sampaikannya melalui media kesenian, dibantu murid utamanya, Sunan Kalijaga. Sunan Bonang juga merupakan guru bagi Raden Fatah. Karena, beliau telah memberikan pendidikan Islam kepada putra raja Majapahit Prabu Brawija V tersebut, yang kemudian menjadi sultan pertama Demak. Catatan-catatan pendidikam tersebut dikenal dengan “Suluk Sunan Bonang” atau “Primbon Sunan Bonang”. Isu buku tersebut berbentuk prosa ala Jawa Tenagh, kalimatnya sangat banyak dipengaruhi bahasa Arab,dan sampai sekarang antara lain masih tersimpan di Universitas Laiden, Negeri Belanda.
e)      Sunan Drajat (Ampel Denta, Surabaya , sekitar tahun 1470-Sedayu, Gresik, pertengahan abad ke-16).
Nama aslinya adalah Masih Munat atau Raden atau juga Syarifuddin. Beliau adalah putra Sunan Ampel yang kedua. Setelah menguasai pelajaran agama dari sang ayah, beliau hijrah kedesa Drajat di Lamongan, dan mendirikan padepokan santri Dalem Duwur, yang sekarang bernama desa Drajat. Di daerah inilah Sunan Drajat memusatkan dakwahnya, beliau juga memegang kendali kerajaan di wilayah perdikan Drajat. Sebagai seorang ulama’, beliau mengajarkan sifat tawakal sebagai salah satu ajaran akhlaknya. Mengenai ajaran tawakal, beliau menyatakan bahwa “apa yang terjadi pada diri manusia memang sudah ditentukan oleh Allah Yang Maha Kuasa. Karena itu, manusia disamping harus menyerahkan nasib kepada Allah, dia juga harus tetap berusaha. Dengan bertawakal secara benar dan bersungguh-sungguh kebenaran janji Allah akan datang”. Hal itu sesuai firman Allah yang dikutip oleh Sunan Drajat.
“Barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya”. (QS. At-Talaq : 3).
            Hal yang paling menonjol dalam dakwah Sunan Drajat adalah perhatiannya yang sangat serius pada masalah-masalah sosial. Beliau terkenal mempunyai jiwa sosial dan teman-teman dakahnya selalu berorientasi pada kegotongroyongan. Beliu selalu memberi pertolongan kepada umum, menyantuni anak yatim dan fakir miskin sebagai suatu proyek sosial yang dianjurkan agama lslam. Karena keberhasilannya menyebarkan Islam dan menanggulangi kemiskinan, Sunan Drajat memperoleh gelar Sunan Mayang Madu dari Raden Fatah, Sultan Demak 1 tahun saka 1442 atau 1520 M.

f)       Sunan Gunung Djati (Mekkah, 1448-Gunung Jati, Cirebon, Jawa Barat)
Nama aslinya adalah Syarif Hidayatullah. Beliaulah pendiri dinastri raja-raja Cirebon dan kemudian juga Banten. Nama lain dari Sunan Gunung Jati adalah Fatahillah atau Falatehan. Bahkan sumber lain menyebutkan tujuh nama bagiannya, yaitu: 1). Muhammad Nuruddin, 2). Syekh Nurullah, 3). Sayyid Kamil, 4). Bulkiyyah, 5). Syekh Azkurullah 6). Syarif Hidayatulllah, 7). Makdum Jati.
Sunan Gunung Jati adalah cucu raja Pajajaran, Prabu Siliwangi. Yaitu, putra dari Nyai Lara Santang (anak kedua raja Pajajaran) degan Maulana Sultan Mahmud (Syarif Abdullah), seorang bangsawan Arab yang berasal dari Bani hasyim. Pernikahan mereka terjadi ketika Nyai Lara Santang dan kakaknya Raden Walangsungsng pergi haji yang merupakan perintah guru mereka yaiu Syekh Datu Kahfi (Syekh Nurul Jati) di Gunung Ngamparan Jati. Setelah dewasa, Syarif Hidayatullah memilih berdakwah ke tanah Jawa daripada menetap di tanah Arab. Beliau kemudian menemui Raden Walangsungsang yang sudah bergelar Pangeran Cakrabuana. Setelah pamannya itu wafat, beliau menggantikan kedudukan dan kemudian berhasil meningkatkan status  Cirebon  menjadi sebuah kesultanan. Beliau kemudian terkenal dengan dengan gelar Sunan Gunung Jati.
Menurut Purwaka Carunban Nagari, Sunan Gunnung Jati, sebagai salah seorang wali songo, mendapat penghormatan dari raja-raja lain di Jawa, seperti kerajaan Demak dan Pajang, karena kedudukannya sebagai raja dan ulama, beliau di beri gelar Raja Pandita. Beliau mengembangkan agama Islam ke daerah daerah lain di Jawa Barat, seperti Majalengka, kuningan, kawli (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten. Beliau meletakkan dasar bagi pengembangan Islam dan perdagangan orang-orang Islam Banten pada tahun 1525 atau 1526. ketika beliau kembali ke Cirebon, Banten di serahkan kepada anaknya, sultan Maulana Hasanudin yang kemudian menurunkan raja-raja Banten. Setelah Sunan Gunung Jati wafat, Cirebon mengalami pasang surut. Kendati demikian, peranan histories keagamaan yang dijalankannya tak pernah hilang.
g)      Sunan Kudus (abad ke 15-Kudus, 1550)
Nama aslinya Ja’far Sadiq, tetapi sewaktu kecil dipanggil Raden Undung,. Kadang beliau dipanggil dengan Raden Amir Haji, sebab ketika menunaikan ibadah haji beliau bertindak sebagai pemimpi rombongan (amir). Sunan Kudus adaah putra Raden Usman Haji, yang menyiarkan Islam di daerah Jipang Panoalan, Blora. Sedangkan Sunan Kudus sendiri menyiarakan agama Islam di daerah Kudus dan sekitarnya, dan beliau memiliki keahlian khusus dalam bidang ilmu agama, terutama dalam ilmu fiqih, ushul fiqh, tauhid, tafsir, serta logika. Oleh sebab itu, diantara wali songo yang lain, hanya beliaulah yang dijuluki al-‘alim (orang yang luas ilmunya). Disamping menjadi juru dakwah, Sunan Kudus juga menjadi panglima perang Kesultanan Demak Bintoro yang tangguh, dan dipercaya untuk mengendalikan pemerintahan di daerah Kudus, sehingga beliau menjadi pemimpin pemerntahan sekaligus pemimpin agama di daerah tersebut.
Pada tahun 986 H atau 1549 M, Sunan Kudus Menunaikan Haji. Saat itu pula beliau singgah ke Bait al-Maqdis (al-Quds) untuk memperdalam ilmu agama. Disana, beliau mendapat semacam amanat berbahasa Arab yang tertulis di atas batu. Inti pesan itu adalah menyuruh Sunan Kudus mendirikan masjid dan menanamkan syiar Islamnya dengan nama Kudus, bila beliau kembali ke pulau Jawa. Dan akhirnya terciptalah Masjid Manara dan daerah bernama Kudus. Hingga kini pesan yang dituliskan Arab di atas batu tersebut masih tersimpan di mihrab. Seperti sunan yang lainnya, dalam menyiarkan Islam Sunan Kudus tidak menghilangkan ciri atau budaya Hindu. Bahkan sampai sekarang di daerah Kudus ada pelarangan untuk menyembelih sapi. Hal itu merupakan sebuah penghormatan Sunan Kudus terhadap masyarakat yang mayoritas memeluk agama Hindu.
Selain sebagai mubaligh, beliau juga dikenal sebagai pujanga mengarang cerita-cerita bernafaskan Islam, sebagai  pendukungan dalam melaksanakan dakwahnya. Karangan cerita beliau yang palig terkenal adalah  Gending Maskumambang dan Mijil.
h)      Sunan Kalijaga (akkhir abad ke-14 pertengahan abad ke-15)
Nama Kalijaga konon berasal dari rangkaian bahassa Arab “qodi zaka” yang berarti pelaksana dan membersihkan. Qadizaka yang kemudian menurut lidah dan ejaan menjadi Kalijaga berarti pemimpin atau pelaksana yang menegakkan kebersihan dan kesucian. Nama kecilnya adalah Raden Mas Syaid atau sa’id putra Walitika adipati Tuuban, dan kadang-kadang dijuluki Syekh Malaya. Salah satu sifat yang menonjol dari Raden Mas Syahid kecil adalah sifat welas asih (kasih sayang). Sikap kasih sayang tersebut terutama ditunjukan kepada rakyat kecil yang banyak menderita. Bahkan pada masa remajanya perasaan kasih sayang tersebut diwujudkan secara berlebihan.
Daerah dakwah Sunan Kalijaga tidak terbatas, bahkan sebagai mubaligh beliau berkeliling dari satu daerah ke daerah lain. Karena sistem dakwahnya yang intelek dan actual, maka para bangsawan dan cendikiawan sangat simpati terhadapnya, demikian juga lapisan masyarakat awam, bahkan pengusaha. Sunan Kalijaga yang berasal dari lingkungan keraton Majapahit menyebarkan Islam dengan memanfaatkan sarana wayang yang digemari masyarakat pedalaman Jawa. Salah satu contohnya adalah Wayang Purwa. Pengetahuan dibidang seni melatar belakangi pendekatan kebudayaan yang digunakannya dalam menyebarkan agama Islam.
Dalam menjalankan dakwahnya, Sunan Kalijaga tidak membangun pesantren seperti yang dilakukan oleh para wali lainnya. Beliau lebih cenderung dengan berkelana dari tempat yang satu ke tempat yang lainnya. Dalam metode dakwahnya, kepercayaan dan adat istiadat setempat tidak ditentan begitu saja, bahkan beliau jadikan sebagai sarana dakwah.

i)        Sunan Muria (abad ke-15- abad ke-16)
Nama aslinya Raden Umar Said atau Raden Said, sedangkan nama kecilnya adalah Raden Prawoto, namun beliau lebih terkenal dengan nama Sunan Muria karena pusat kegiatan dakwahnya dan makamnya terletak di gunung Muria (18 km di sebelah utara kota Kudus sekarang). Ciri khas Sunan Muria dalam upaya menyiarkan agama Islam adalah menjadikan desa-desa terpencil sebagai tempat dakwahnya. Beliau lebih suka menyendiri dan bertempat tinggal di desa dan bergaul dengan rakyat biasa. Beliau mendidik rakyat di sekitar gunung Muria. Cara yag ditempuhnya dalam menyiarkan agama Islam adalah dengan mengadakan kursus-kursus bagi kaum pedagang, para nelayan dan rakyat biasa. Beliau juga banyak menggunakan metode pendekatan kebudayaan yang bertujuan untuk menarik rakyat golongan bawah masuk Islam. Misalnya, dengan menggunakan pertunjukan kesenian yang digemari masyarakat setempat.
Sunan Muria juga terkenal sebagai pendukung setia Kesultanan Demak Bintiro dan berperan serta dalam mendirika masjid Demak. Dalam rangka dakwah melalui budaya, beliau menciptakan tembang  dakwah Sinom dan Kinanti. Sinom adalah sejenis tembang Jawa yang pada umumnya menampilkan suasana yang dapat menyentuh hati. Sedangkan kinanti pada umumnya berisi tentang syair-syair yang bersuasana senang, gembira, penuh kasih sayang dan rasa cinta.
3.      Kajian Dakwah dan Analisis Metode Dakwah Walisongo.
Pada dasarnya metode dakwah wali songo awalnya terdapat dua macam, yaitu : mengislamisasikan adat dan murni menurut Islam. Dari kedua metode tersebut tidak dipraktekkan sekaligus secara bersamaan. Karena, tidak semua daerah tempat para wali songo berdakwah dapat dapat menerima metode tersebut. Ada yang hanya dapat menerima salah-satunya saja.
Kebanyakan para sunan terlebih dahulu menggunakan metode yang pertama, yaitu mengislamisasikan adat. Maksudnya, para sunan menggunakan adat dan kepercayaan yang dianut maayarakat setempat sebagai alat dakwah mereka. Dengan demikian, metode yang kedua dapat digunakan setelah metode yan pertama berhasil. Dan telah dijelaskan bahwa pulau Jawa yang merupakan pusat mereka berdakwah, masyarakatnya mayoritasberagama Hindu/Budha. Dengan demikian tidaklah efektif bila langsung menggunakan metofe kedua, yaitu murni menurut Islam. Janganka diterima dengan tangan terbuka, masyarakat bisa saja menolak mentah-mentah dengan mengusir bahkan bisa saja membunuh sunan yang akan berdakwah di daerah tersebut. Karena mereka merasa terganggu akan kehadiran sunan yang secara tiba-tiba menyatakan bahwa agama yang mereka anut adalah sesat.
Melihat dari sejarahnya, metode yang digunakan dalam menyebarkan agama Islam oleh wali songo disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah yang akan dijadikan  tempat mereka berdakwah. Dan seperti yang telah dijelaskan di atas, para wali tidak menghilangkan adat mereka. Akan tetapi, mengubah adat mereka menjadi adat dengan nuansa Islam.












BAB III
PENUTUP
1.      KESIMPULAN
Dari penjelasan dan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, Agama Islam mulai dikenal banyak oleh bangsa Indonesia karena adanya semangat dakwah yang tinggi dari sembilan wali atau yang terkenal dengan sebutan wali songo dalam menyebarkan agama Islam. Wali Songo itu sendiri adalah 9 ulama’ yang menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Mereka adalah :
1)      Sunan Gresik, nama aslinya Maulana Malik Ibrohim.Wafat pada tanggal 12   Rabiul awal 822/8 April 1481. kajian dakwahnya denga berdagang.
2)      Sunan Ampel, nama aslinya Raden Rahmat. Lahir di Campa, Aceh th 1401 dan wafat di Ampe, Surabaya h 1481. kajian dakwahnya berawal dengan membangun pesantren.
3)      Sunan Bonang, dikenal dengan nama Raden Maulana Makhdum Ibrahimm, atau Raden Ibrahim (Makhdum adalah gelar yang bisa di berikan kepada seorang ulama besar di India, dan berarti orang yang dihormati).
4)      Sunan Giri, nama aslinya Raden Paku. Lahir di Blambangan pada pertengahan abad ke-15 dan wafat di Giri th 1506. kajian dakwahnya bersisfat permainan yang berjiwa agama.
5)      Sunan Bonang, nama aslinya Raden Maulaa Makhdum Ibrahim. Lahir di Aampel Denta, surabaya th 1464 dan wafat di Tuban pada th 1525. Kajian dakwahnya dengan jalan seni.
6)      Sunan Drajat, nama aslinya Masih Munat. Lahir di Ampel Denta, Surabaya sekitar tahun 1470 dan wafat di Sedayu, Gresik pertengahan abad ke-16. kajian dakwahnya bersifat sosial.
7)      Sunan Gunung Jati, nama aslinaya Syarif Hidayatullah. Lahir di Mekkah pada th 1448 dan wafat di Gunng Jati, Cirebon, Jawa Barat th 1570. Kajian dan dakwahnya dengan politi dan sosial.
8)      Sunan Muria, nama aslinya Umar Said atau Raden Sahid. Lahir pada abad ke-15 dan wafat pada abad ke-16. Kajian dakwahnya dengan mengadakan kursus-kursus bagi kaum pedagang, para nelayan, dan rakyat biasa.
9)      Sunan Kudus, nama aslinya Ja’far Sadiq. Lahir pada ke-15 dan wafat di Kudus th 1550. kajian dakwahnya dengan pendekatan kultural, yaitu menciptakan berbagai cerita keagamaan.
Metode dakwah yang dilakukan adalah dengan melalui pendekatan budaya. Secara umum ada dua metode yaitu mengislamisasikan budaya dan mensyiarkan Islam secara murni.

2.      DAFTAR PUSTAKA
Saifullah, Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010),
Fatah syukur, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 2010),
MB.Rahimsyah, Legenda dan Sejarah Lengkap Wali Songo,(Surabaya: Amanah)
Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Walisongo Misi Pengislaman di Tanah Jawa, (Yogyakarta: GRAHA Pustaka, 2009)


Komentar

Postingan Populer