Cinta Dibalik Ilalang Senja



Matahari mungkin telah lelah seharian menerangi jagat raya, ia bersembunyi dibaik pelataran jingga. Ujung cahayanya menerangi bilik-bilik papan yang berjajaran menyusun tempat perlindungan. Azzam tengah bergegas menuju pawon saat terdengar hentakan kaki dari ujung pintu belakang. Sebelum tangan letih itu mengetuk, Azzam telah terlebih dahulu membukakan pintu, senyumnya sumringah mencoba meyembunyikan letih badannya. Segera mungkin Azzam membantu menurunkan karung yang sedari tadi membeban di pundak wanita tua itu. “Emak sudah pulang?. Sesaatkemudian tanganya sibuk menyiapkan minuman. Sambil merebah pada dinding kekayuan, wanita itu mencoba mengiyakan, nafasnya terengah-engah, tampak wajah yang telah mengeriput itu sangat kecapekan. Sayang diusia yang seharusnya menikmati masa panen bahagia, menimang gemilang cucu memaku senyum menanti masa ini harus disibukkan dengan urusan perut.
“Mak, harusnya mak istirahat aja, biar Azzam yang berkebun.”
Ia menyodorkan secangkir kopi, tanganya mencoba memijat-mijat bahu wanita kesayanganya.
“Masak apa le? Sahutnya, tanpa menghiraukan pertanyaan Azzam.
“Emak lapar? Tadi Azzam ke kebun sebelah, ambil daun singkong mak, Azzam siapkan makan. Mak bersihin badan dulu ya”.
Hidup hanya berdua dengan emaknya, mengharuskan Azzam menjadi sosok pribadi yang kuat, dimana tidak hanya berperan sebagai anak laki-laki saja, ia pun harus mampu mengerjakan pekerjaan anak wanita pada umumnya, memasak, mencuci dan sebagainya. Ayahnya meninggal sejak ia menginjak usia 6 tahun. Masih sangat teringat kala itu Azzam digendong memutari kampung sekedar untuk melihat cahaya lampu dirumah kepala dusun, sebelum akhirnya ayahnya meninggal karena sakit  ginjal yang ia derita sekian lama. Hidup memang kadang tak adil bagi sebagian manusia yang kurang bersyukur atau bahkan meraka yang masih sukar untuk berfikir, takdir yang digariskan bukanlah garis kehidupan dengan nikmat finansial yang membanggakan, atau bahkan coretan pena yang selalu berakhir senyuman. Jika diluar sana banyak yang bersorak bangga dengan apa yang didapat atas kemajuan jaman maupun teknologi, disinilah dibumi kesederhanaan manusia terlahir untuk bersorak karena apa yang ia dapat atas keringat yang telah bercucuran dibawah terik matahari.
“Zam, masjid itu jangan dibiarkan sepi. Pergilah dulu, emak nyusul.”
“Enggeh mak, Azzam duluan. Mak makan dulu, shalat dirumah tak apa mak. Mak kan capek, nanti Azzam pulang lebih awal mak”. Selalu banyak kata yang tersaji sebagai bentuk rasa sayang terhadap emaknya.
Sungguh beruntung Mak Zainab dikaruniai anak sesholeh Azzam, ia mampu mengobati luka hati sekian tahun lamannya. Tentu tidaklah mudah bagi Mak Zainab mendidik anak seperti Azzam. Ia yang seorang diri terpaksa menjadikan dirinya sosok yang mumpuni, terkadang lembut mengibu dan tegas mengayahkan diri. Sekian tahun sigle parent, dengan 4 anak yang kini telah memisah bersama suami-suaminya sedikit mengurangi beban Mak Zainab. Tanggungjawabnya masih pada satu laki-laki sholeh yang menjadi kebangganya. Ia berharap diusianya yang memasuki kepala 6 ini ia dapat menyaksikan putra satu satunya menikah dengan gadis beruntung yang akan menemani hingga waktu berakhirnya usia.
“Zam, usai kau ngajar ngaji tolong pijitin mak ya.” Pinta mak zainab dengan lembutnya.
Senyum Azzam menggiyakan pinta mak Zainab. Azzam bukanlah seorang pemuda dengan ilmu agama yang tinggi, pendidikan agama ia dapatkan bukan dari pesantren, melainkan dari hobinya membaca. Ia hanya lulusan bangku SMP. Keberuntungan mendatangi ketika ia telah berhenti setahun dan hanya disibukkan dengan urusan berkebun.
Pada saat itu bapak Edi salah satu anggota TNI yang mendapat tugas didaerah tersebut berkeinginan memiliki anak laki-laki. Nasib keturunannya tidak sebagus nasib ekonomi keluarga. Ibu Eka istrinya tidak dapat memberikan keturunan setelah beberapa kali mengalami keguguran, ia hanya diberikan satu anak perempuan yang diberi nama Nisa. Setelah sekian lama bergaul dan mengenal warga Desa Karangsari, Pak Edi bermaksut untuk mengangkat Azzam menjadi anaknya. Cerita dari mulut ke mulut membawa kabar baik hatinya pemuda yang bernama Azzam ke telinga pak Edi. Setelah lama mencari tahu keinginannya semakin kuat, hingga pada akhirnya niatanya pun tersampai dirumah ujung desa Karangsari itu. Malam hari tepat pukul 08.00 malam, tidak seperti biasanya Desa Karangsari tampak lebih sunyi dari biasanya. Suara angin yang tiap hari menyanyikan irama dedaunan dalam barisan pohon-pohon, kini entah menghilang kemana. Serangga malam pun mungkin telah lelah dengan segala aktivitasnya, hingga tak bersuara sama sekali.
“Maaf, saya permisi ke belakang dulu sebentar.” Wajahnya tampak bingung dengan apa yang baru saja dibicarakan, hatinya tiada henti menyebut asma-Nya mengharap ketenangan hati yang kini bergemuruh tak pasti. Segera Azzam menuju sumur dan mengambil air wudhu. Sedang diruangan kecil yang hanya berukuran 5x4 Meter itu terlihat wajah Mak Zainab yang membendung air mata.
“Pak Azzam itu anak baik, dia begitu menyayangi orang tua. Sholatnya juga rajin, semoga nantinya bisa menjadi anak yang sukses jika nantinya dia jadi ikut dengan bapak.....” Air matanya tak tertahan membanjiri seluruh pipi.
Azzam datang dan duduk disamping mak Zainab seraya menenangkan.
“Maaf pak sebelumnya bukan maksut saya untuk menolak keinginan baik  bapak dan ibu disini, tapi saya belum bisa pak, Mak dirumah sendirian. Saya gak bisa meninggalkannya pak.” Wajahnya tertunduk lemas. Bayanganya mengenakan seragam putih abu- abu itu serasa harus hilang terpaksa.
“Begini Nak, kami tidak memaksamu untuk ikut dengan kami. Bagaimana kalau kamu sekolah sedangkan masalah biaya biarlah kami yang membantu.” Begitu bijaksana perkataan itu keluar dari lisan bapak Edi. Tampak senyum bahagia dengan kedua lesung pipi menghias indah diparas pemuda ini. Bahagia Azzam mendengarnya, Azzam pun mengiyakan tawaran tersebut.
“Maaf pak, kalo boleh Azzam mau minta syarat boleh?”
Dari depan pandangan bu Zainab, Bu Eka dan Pak Edi terlihat saling memandang. Wajah sumringahnya menandakan menyetujui sekaligus penasaran, apa gerangan syarat yang ingin diminta pemuda sholeh ini, sepintas ia takut tak mampu memenuhi persyaratanya.
“Saya ingin tidak terlalu merepotkan Bapak Ibu yang baik hati ini, saya ingin memelihara ternak dari bapak ibu yang nantinya hasil ternak itu digunakan untuk biaya saya sekolah. Kiranya bapak berkenan memenuhi syarat ini saya amat sangat berterimakasih. Selain saya bisa sekolah, nantinya saya bisa tetap menemani Emak saya dirumah.”
MasyaAllah, begitu mulia hati anak ini. Dalam keadaan ekonomi yang begitu memprihatinkan, ia tidak ingin merepotkan orang lain, atau bahkan menerima dengan Cuma-Cuma.
Pak Edi tentu menerima syarat yang diajukan pemuda sholeh Karangsari ini.
Hari-hari Azzam jalani dengan sekolah dan berternak. Atas kesepakatan, Azzam dibelikan 3 ekor kambing dan 5 kelinci. Pagi sekolah dan siang mencari rerumputan untuk ternak-ternaknya. Dengan begitu keinginan Azzam untuk sekolah tanpa meninggalkan emak bisa terwujud sampai ia menyelesaikan sekolahnya.
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan dengan suatu ketakutan dan kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan: “Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya kami akan kembali.” (Q.S. Al-Baqarah 155-156).
          Dan milik Allahlah segala sesuatu apa yang ada di dunia ini, Allah datangkan ujian untuk mereka yang melangkah pada jalan Allah, bukan bearti Allah tak sayang, melainkan itu karna Allah benar-benar menyayangi hamba-Nya dan begitu menyayanginya. Dengan ujian itulah Allah ingin hamba-Nya kuat, ingin ia selalu mengingat-Nya dan bercinta dalam sujud-sujud malamnya. Allahlah Maha  pencemburu diantara para pencemburu, Dia tak ingin hamba-hamba kekasih-Nya terlena dan melupakan-Nya, untuk itu Allah datangkan ujian untuknya kembali mengingat-Nya dan mencintai-Nya kembali.
          (Bersambung.............)

Komentar

Postingan Populer