Eng i Eng...
Memang
aku bukanlah anak semata wayang yang selalu ditimang, rutin ditimbang dan
berlimpahkan uang. Terlahir dari seorang buruh tandur[1]
dan bukan dari kalangan darah biru, atau darah hijau sesakti kolor ijo. Tapi bagiku
hidup bukanlah ukuran materi, karena ternyata mereka yang bermandikan materi
tak alang masih saja kalah akhlak dengan para penggiring meri. Pagi sarapan
roti dan siang ngacir nyari upeti dibalik laci. Sial bukan kepalang hamba-Nya
yang tertahan hidup dibalik jeruji penjajah negeri ini, tapi apalah daya garis
tangan tak mampu dihapus dan dirubah sesuai keinginan. Yah…nikmatin aja biarlah
waktu memakan kesedihan kaum pemimpi kesejahteraan.
Dari
balik papan yang tersusun ini kucoba sapa si mentari, tak seperti biasa,
mungkin ia lelah menyinari alam yang tak lagi sehati denganku. Terkadang
pengetahuanku serasa seperti paranormal, atau mungkin aku yang kurang normal,
entahlah yang pasti saat keadaan tak lagi bersahabat dan mungkin kelingking
kehidupan tak lagi bersabat dengan kelilngkingku disitulah saat alam terpaksa
melindungiku dengan ilusi semu yang bagiku itulah dukungan untukku.
“Hai
mentari tengoklah banyak jerami yang masih butuh sengatanmu, tak ingin berego
aku. Cukuplah simpatimu terhadap kesendirianku.” Teriakku dari bilik sinambi menyerutup
kopi buatan emak, dan tak lupa ditemani sepiring beton[2]
rebus asli kebun krincing.
“Wil,
jangan kebanyakan makan beton, kentutmu itu lo. Bikin pingsan mahasiwi
sekampus.” Suara yang tak asing lagi ditelinga. Wati si gadis gedongan dengan
kebiasaanya yang sungguh siapa pun yang naksir dia mungkin akan berfikir ribuan
kali. Gimana tidak sekelas mahasiswa kebiasaan ngupil menjadi suatu hal yang wajib baginya, bahkan
dikelas pun tak kenal lagi mana tempat yang aman, selama ia merasa nyaman,
nasib dah itu buku menjadi bentengnya menutup muka, dan yang paling membuatku
heran ketidakrelaannya jika kotoran yang sedari tadi di kerut dengan jarinya
itu jatuh. Satu hal yang sampai saat ini belum terjawab, dan masih saja
menggantung di pikiranku. Nyidam apa dulu ibu dari sahabat karibku ini. Kenapa
bisa muncul manusia semacam ini. Tapi biarlah itu menjadi satu pertanyaan tak
penting yang tak butuh jawaban pula.
“Tik,,,watik.
Ngapain kesini? “.
“Ya
elah,,,yang butuh kerja siapa. Yang sibuk siapa?, udah buruan. Langit itu lo
mendung, beton aja yag diperhatiin, masa depanmu memang gak penting?”. Yah
seperti itulah wati, yang ceriwisnya tiada duanya bagiku.
“Bentar
ya, aku ganti baju dulu. Gak mandi kok, udah tak jamak kemaren jadi gak lama
hehee .”
Komentar
Posting Komentar