Siapa Pahlawanmu????
Assalamu’alaikum wr wb
Segala kesyukuran atas nikmat yang telah Allah berikan
kepada kita semua. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi
akhir zaman, Rosulullah Muhammad Shalallah alaihi wa sallam.
Sahabat Pena, kita mengetahui bahwa pemuda saat ini adalah
generasi masa depan. Jika pemuda saat ini hancue maka hancurlah peradaban
dimasa depan. Dalam rangka hari sumpah pemuda ini harapan kami sebagai umat
muslim, dan kami sebagai warga NKRI pemuda saat ini mampu menjadikan dirinya
seeorang yang berkualitas, baik dari setiap segi kehidupan. Menjadi pemuda yang
amanah, bermanfaat dunia maupun akhirat. Semangat pemuda, semangat kebangkitan,
semangat kejayaan. Terakhir kami mengucapkan kepada seluruh pemuda di Indonesia.
Selamat hari sumpah pemuda.
Wassalamualaikum wr wb
Hari beranjak larut. Tapi kehidupan di Tugu Pahlawan itu
masih berdenyut. Lampu masih terang benderang. Mobil dan motor juga ramai
melaju. Kawasan yang meriah di siang hari itu seperti enggan terlelap.
Tapi tunggulah sebentar. Keriuhan itu akan segera pergi. Pukul 11 malam kawasan itu seperti sedang mengaso. Suasana menjadi gelap, sebab lampu sekitar Tugu itu dimatikan. Selama dua jam kawasan itu berhening dalam diam.
Tugu setinggi 41,15 meter itu berbentuk lingga, seperti sebuah paku yang terbalik. Didirikan demi mengenang jasa para pahlawan yang bertaruh nyawa mempertahankan kemerdekaan, 10 November 1945. Ribuan orang mati di situ, dihujani peluru kumpeni.
Warga di sekitar situ mengenang jasa para pahlawan ini dengan banyak cara. Salah satunya mematikan lampu selama dua jam itu. " Hampir setiap tahun listrik selalu mati pada tengah malam itu," ujar Tara, gadis cantik yang telah lama menjadi warga Surabaya saat berbincang dengan Dream.co.id.
Bagi Tara, Hari Pahlawan yang jatuh pada 10 November itu sarat dengan pesan. Kegelapan itu adalah pesan betapa susahnya kemerdekaan itu diraih dan juga dipertahankan. Meski susah semangat harus dinyalakan. Dan arek-arek Surabaya sudah membuktikannya.
*****
Perang di Surabaya itu adalah salah satu titik terpenting dalam sejarah mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Perang ini melibatkan seluruh lapisan. Para pemuda dari berbagai daerah dan warga Surabaya bahu membahu menghadapi pasukan asing yang bersenjata lengkap.
Adalah KH Hasyim Asy'ari, seorang ulama besar Nadhatul Ulama (NU), yang mengibarkan perang fisabillah. Seruan berperang lewat Resolusi Jihad di kalangan warga NU adalah hulu dari segenap semangat itu. Dan itu memang dirancang secara matang.
Jauh sebelum pecah perang besar 10 November itu, Pengurus Besar NU telah mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945. Pesan sakral itu dikumandangkan demi menyikapi kembalinya kumpeni Belanda, yang menumpang di punggung NICA.
Kecurigaan masyarakat Surabaya sesungguhnya muncul awal Oktober 1945. Tentara Jepang di Semarang dan Bandung merebut kembali Semarang dan Bandung yang telah jatuh ke tangan Indonesia. Kedua kota ini lalu diserahkan kepada Inggris.
Atas langkah sepihak itu, pemerintah Indonesia masih bisa menahan diri. Jalur diplomasi dipilih sebagai penyelesaian perselisihan itu. Tapi, kesabaran bangsa Indonesia kembali diuji ketika bendera Merah, Putih, Biru, bendera Belanda, kembali berkibar di Jakarta. Pada tanah di mana kemerdekaan diproklamirkan 17 Agustus 1945.
Kesabaran pemimpin Indonesia, termasuk para ulama NU sudah sampai di titik nadir. Suasana di sejumlah kota, termasuk Surabaya makin memanas. Insiden-insiden kecil mewarnai proses pengalihan kekuasaan diam-diam ini.
Warga Surabaya sayup-sayup mulai mendengar kabar mendaratnya Sekutu yang diboncengi tentara NICA di tanah mereka. Pidato-pidato Bung Tomo lewat Radio Pemberontakan mulai bergelora. Semangat melawan kian mendidih.
PBNU pun mengundang konsul-konsul NU di seluruh Jawa dan Madura agar hadir pada 21 Oktober 1945 di kantor PB ANO di Jl Bubutan VI/2 Surabaya. Pertemuan malam hari pada 22 Oktober 1945 itu langsung dihadiri Rais Akbar NU, KH Hasyim Asy’ari.
Amanat berupa pokok-pokok kaidah tentang kewajiban umat Islam, pria maupun wanita, dalam jihad mempertahankan tanah air dan bangsanya dibahas malam itu.
Rapat PBNU yang dipimpin Ketua Besar KH Abdul Wahab Hasbullah itu pun berakhir. Satu keputusan sudah diambil. Inilah pertama kalinya “ Resolusi Jihad Fii Sabilillah” lahir dari kalangan NU untuk melawan tindakan Sekutu.
“ Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian sadja…” begitu bunyi resolusi tersebut seperti dikutip dari laman khagussunyoto.blogspot.com .
Amarah yang telah lama ditahan umat muslim Surabaya dan Jawa Timur akhirnya pecah. Seruan Jihad utama membela Indonesia membakar semangat penduduk Surabaya. Pilihan mati dengan imbalan surga telah melayang dalam benak setiap orang.
Pekik Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar dari Bung Tomo lewat corong radio Radio Pemberontakan semakin mengobarkan semangat juang. Hingga akhirnya perang fii sabilillah selama tiga hari berturut-turut. Tanpa kenal lelah, para pejuang angkat senjata sejak 27 hingga 29 Oktober 1945.
Brigade ke-49 Mahratta pimpinan Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby harus menghadapi semangat yang tak terbayangkan ini. Kekuatan senjata tak mampu jadi pelindung. Lebih dari 2.000 orang pasukan kebanggaan Inggris tewas. Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby ikut meregang nyawa akibat dilempar granat.
*****
Kabar kematian Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby memancing kemarahan Inggris. Peristiwa 9 November 1945 takkan hilang dari benak masyarakat Surabaya. Tiga pesawat bomber yang melayang-layang di atas langit Surabaya memicu penistaan harga diri bangsa Indonesia.
Bukan pesawat yang membuat marah rakyat Surabaya. Namun ucapan Mayor Jenderal EC Mansergh, Komando Angkatan Darat Sekutu Jawa Timur lewat pamflet-pamfletlah pemicunya.
Sekutu dengan angkuhnya meminta bangsa Indonesia di Surabaya menyerah. Fitnah ketidakjujuran masyarakat Surabaya dengan menyerang angkatan Perang Inggris dijadikan alasan.
Inggris mungkin pantas naik pitam. Semangat perang di jalan Allah telah membunuh ratusan prajuritnya. Bahkan, pucuk pimpinan Brigadir Jenderal Mallaby tewas oleh granat tangan para pejuang.
" Kesalahan-kesalahan tersebut di atas tak dapat dibiarkan begitu saja. Berdasarkan ini, saya mengeluarkan perintah yang harus dapat dilaksanakan," kata AC Mansergh dalam pamfletnya tersebut.
Para pejuang diminta untuk menyerahkan tawanan pada 9 November 1945 pukul 18.00 WIB. Jika tak dilaksanakan, AC Manserg siap mengerahkan semua kesatuan angkatan laut, darat dan udara. Waktu serbuan sudah ditetapkan. Pada 10 November 1945 pukul 06.00 WIB.
" Mereka bertanggung-jawab atas pertumpahan darah yang tak dapat dihindarkan," kilah EC Mansergh.
*****
Ultimatum EC Mansergh semakin memancing amarah arek-arek Suroboyo. Ancaman ini dianggap merendahkan martabat bangsa Indonesia. Tak ada kata lain selain melawan.
Hinaan jenderal sekutu ditanggapi tak jauh lebih keras oleh KH Hasyim Asy’ari yang saat itu berada di Surabaya. Kakek mantan presiden Abdurrahman Wahid ini memutuskan mengubah Resolusi Jihad 22 Oktober 1945. Seruan jihad yang membunuh Bigjend Mallaby ini dibuat lebih operasional.
“ Bagi tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak (bersenjata ataoe tidak) yang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari Soerabaja, Fardloe ‘Ain hukumnya untuk berperang melawan moesoeh oentoek membela Soerabaja,” begitu itu resolusi jihad terbaru itu.
Tak butuh waktu lama, seruan jihad KH Hasyim Asy’ari menyebar luas ke berbagai daerah diluar Surabaya. Penduduk Mojokerto, Lamongan, Tuban, Pasuruan, Jombang, Malang, Banyuwangi, hingga Cirebon siap angkat senjata.
Di bawah arahan para kyai, santri, satuan-satuan dari barisan Hizbullah dan Sabilillah berbondong-bondong menuju Surabaya.
Masa yang tersulut bayang-bayang Mati Syahid ini bergabung dengan pasukan TKR Kota Surabaya, PRI, BPRI, TKR Laut, TKR Pelajar, Polisi Istimewa, Barisan Buruh, dan warga Kota Surabaya. Tujuannya satu, menyambut serangan umum pasukan Inggris di bawah Mayor Jenderal E.C.Mansergh pada 10 November 1945. Pekik takbir kembali bergema.
Bayang-bayang Inggris yang akan menemukan rakyat Surabaya tunduk menyerah dalam tempo tiga hari sirna. Serangan bombardir dari darat, laut dan udara tak cukup untuk memupus semangat mati syahid.
Inggris harus menghadap peristiwa yang takkan pernah dilupakannya. Kota Surabaya tak mudah tunduk. Perjuangan tiga bulan harus dilalui. Kobaran jihad di jalan Allah meski harus bersimbah darah dan airmata tak begitu saja bisa dipadamkan.
Meski akhirnya takluk, Inggris takkan pernah melupakan pengalaman perang seperti di Surabaya. Pertempuan pertama kali dan terakhir melawan semangat jihad begitu membekas di benak tentara Inggris.
Tara dan penduduk Surabaya mungkin hanya merasakan padamnya lampu selama dua jam. Meski sesaat, gelapnya malam ini menjadi pengingat besarnya semangat perjuangan resolusi jihad arek-arek Suroboyo.
Tapi tunggulah sebentar. Keriuhan itu akan segera pergi. Pukul 11 malam kawasan itu seperti sedang mengaso. Suasana menjadi gelap, sebab lampu sekitar Tugu itu dimatikan. Selama dua jam kawasan itu berhening dalam diam.
Tugu setinggi 41,15 meter itu berbentuk lingga, seperti sebuah paku yang terbalik. Didirikan demi mengenang jasa para pahlawan yang bertaruh nyawa mempertahankan kemerdekaan, 10 November 1945. Ribuan orang mati di situ, dihujani peluru kumpeni.
Warga di sekitar situ mengenang jasa para pahlawan ini dengan banyak cara. Salah satunya mematikan lampu selama dua jam itu. " Hampir setiap tahun listrik selalu mati pada tengah malam itu," ujar Tara, gadis cantik yang telah lama menjadi warga Surabaya saat berbincang dengan Dream.co.id.
Bagi Tara, Hari Pahlawan yang jatuh pada 10 November itu sarat dengan pesan. Kegelapan itu adalah pesan betapa susahnya kemerdekaan itu diraih dan juga dipertahankan. Meski susah semangat harus dinyalakan. Dan arek-arek Surabaya sudah membuktikannya.
*****
Perang di Surabaya itu adalah salah satu titik terpenting dalam sejarah mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Perang ini melibatkan seluruh lapisan. Para pemuda dari berbagai daerah dan warga Surabaya bahu membahu menghadapi pasukan asing yang bersenjata lengkap.
Adalah KH Hasyim Asy'ari, seorang ulama besar Nadhatul Ulama (NU), yang mengibarkan perang fisabillah. Seruan berperang lewat Resolusi Jihad di kalangan warga NU adalah hulu dari segenap semangat itu. Dan itu memang dirancang secara matang.
Jauh sebelum pecah perang besar 10 November itu, Pengurus Besar NU telah mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945. Pesan sakral itu dikumandangkan demi menyikapi kembalinya kumpeni Belanda, yang menumpang di punggung NICA.
Kecurigaan masyarakat Surabaya sesungguhnya muncul awal Oktober 1945. Tentara Jepang di Semarang dan Bandung merebut kembali Semarang dan Bandung yang telah jatuh ke tangan Indonesia. Kedua kota ini lalu diserahkan kepada Inggris.
Atas langkah sepihak itu, pemerintah Indonesia masih bisa menahan diri. Jalur diplomasi dipilih sebagai penyelesaian perselisihan itu. Tapi, kesabaran bangsa Indonesia kembali diuji ketika bendera Merah, Putih, Biru, bendera Belanda, kembali berkibar di Jakarta. Pada tanah di mana kemerdekaan diproklamirkan 17 Agustus 1945.
Kesabaran pemimpin Indonesia, termasuk para ulama NU sudah sampai di titik nadir. Suasana di sejumlah kota, termasuk Surabaya makin memanas. Insiden-insiden kecil mewarnai proses pengalihan kekuasaan diam-diam ini.
Warga Surabaya sayup-sayup mulai mendengar kabar mendaratnya Sekutu yang diboncengi tentara NICA di tanah mereka. Pidato-pidato Bung Tomo lewat Radio Pemberontakan mulai bergelora. Semangat melawan kian mendidih.
PBNU pun mengundang konsul-konsul NU di seluruh Jawa dan Madura agar hadir pada 21 Oktober 1945 di kantor PB ANO di Jl Bubutan VI/2 Surabaya. Pertemuan malam hari pada 22 Oktober 1945 itu langsung dihadiri Rais Akbar NU, KH Hasyim Asy’ari.
Amanat berupa pokok-pokok kaidah tentang kewajiban umat Islam, pria maupun wanita, dalam jihad mempertahankan tanah air dan bangsanya dibahas malam itu.
Rapat PBNU yang dipimpin Ketua Besar KH Abdul Wahab Hasbullah itu pun berakhir. Satu keputusan sudah diambil. Inilah pertama kalinya “ Resolusi Jihad Fii Sabilillah” lahir dari kalangan NU untuk melawan tindakan Sekutu.
“ Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian sadja…” begitu bunyi resolusi tersebut seperti dikutip dari laman khagussunyoto.blogspot.com .
Amarah yang telah lama ditahan umat muslim Surabaya dan Jawa Timur akhirnya pecah. Seruan Jihad utama membela Indonesia membakar semangat penduduk Surabaya. Pilihan mati dengan imbalan surga telah melayang dalam benak setiap orang.
Pekik Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar dari Bung Tomo lewat corong radio Radio Pemberontakan semakin mengobarkan semangat juang. Hingga akhirnya perang fii sabilillah selama tiga hari berturut-turut. Tanpa kenal lelah, para pejuang angkat senjata sejak 27 hingga 29 Oktober 1945.
Brigade ke-49 Mahratta pimpinan Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby harus menghadapi semangat yang tak terbayangkan ini. Kekuatan senjata tak mampu jadi pelindung. Lebih dari 2.000 orang pasukan kebanggaan Inggris tewas. Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby ikut meregang nyawa akibat dilempar granat.
*****
Kabar kematian Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby memancing kemarahan Inggris. Peristiwa 9 November 1945 takkan hilang dari benak masyarakat Surabaya. Tiga pesawat bomber yang melayang-layang di atas langit Surabaya memicu penistaan harga diri bangsa Indonesia.
Bukan pesawat yang membuat marah rakyat Surabaya. Namun ucapan Mayor Jenderal EC Mansergh, Komando Angkatan Darat Sekutu Jawa Timur lewat pamflet-pamfletlah pemicunya.
Sekutu dengan angkuhnya meminta bangsa Indonesia di Surabaya menyerah. Fitnah ketidakjujuran masyarakat Surabaya dengan menyerang angkatan Perang Inggris dijadikan alasan.
Inggris mungkin pantas naik pitam. Semangat perang di jalan Allah telah membunuh ratusan prajuritnya. Bahkan, pucuk pimpinan Brigadir Jenderal Mallaby tewas oleh granat tangan para pejuang.
" Kesalahan-kesalahan tersebut di atas tak dapat dibiarkan begitu saja. Berdasarkan ini, saya mengeluarkan perintah yang harus dapat dilaksanakan," kata AC Mansergh dalam pamfletnya tersebut.
Para pejuang diminta untuk menyerahkan tawanan pada 9 November 1945 pukul 18.00 WIB. Jika tak dilaksanakan, AC Manserg siap mengerahkan semua kesatuan angkatan laut, darat dan udara. Waktu serbuan sudah ditetapkan. Pada 10 November 1945 pukul 06.00 WIB.
" Mereka bertanggung-jawab atas pertumpahan darah yang tak dapat dihindarkan," kilah EC Mansergh.
*****
Ultimatum EC Mansergh semakin memancing amarah arek-arek Suroboyo. Ancaman ini dianggap merendahkan martabat bangsa Indonesia. Tak ada kata lain selain melawan.
Hinaan jenderal sekutu ditanggapi tak jauh lebih keras oleh KH Hasyim Asy’ari yang saat itu berada di Surabaya. Kakek mantan presiden Abdurrahman Wahid ini memutuskan mengubah Resolusi Jihad 22 Oktober 1945. Seruan jihad yang membunuh Bigjend Mallaby ini dibuat lebih operasional.
“ Bagi tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak (bersenjata ataoe tidak) yang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari Soerabaja, Fardloe ‘Ain hukumnya untuk berperang melawan moesoeh oentoek membela Soerabaja,” begitu itu resolusi jihad terbaru itu.
Tak butuh waktu lama, seruan jihad KH Hasyim Asy’ari menyebar luas ke berbagai daerah diluar Surabaya. Penduduk Mojokerto, Lamongan, Tuban, Pasuruan, Jombang, Malang, Banyuwangi, hingga Cirebon siap angkat senjata.
Di bawah arahan para kyai, santri, satuan-satuan dari barisan Hizbullah dan Sabilillah berbondong-bondong menuju Surabaya.
Masa yang tersulut bayang-bayang Mati Syahid ini bergabung dengan pasukan TKR Kota Surabaya, PRI, BPRI, TKR Laut, TKR Pelajar, Polisi Istimewa, Barisan Buruh, dan warga Kota Surabaya. Tujuannya satu, menyambut serangan umum pasukan Inggris di bawah Mayor Jenderal E.C.Mansergh pada 10 November 1945. Pekik takbir kembali bergema.
Bayang-bayang Inggris yang akan menemukan rakyat Surabaya tunduk menyerah dalam tempo tiga hari sirna. Serangan bombardir dari darat, laut dan udara tak cukup untuk memupus semangat mati syahid.
Inggris harus menghadap peristiwa yang takkan pernah dilupakannya. Kota Surabaya tak mudah tunduk. Perjuangan tiga bulan harus dilalui. Kobaran jihad di jalan Allah meski harus bersimbah darah dan airmata tak begitu saja bisa dipadamkan.
Meski akhirnya takluk, Inggris takkan pernah melupakan pengalaman perang seperti di Surabaya. Pertempuan pertama kali dan terakhir melawan semangat jihad begitu membekas di benak tentara Inggris.
Tara dan penduduk Surabaya mungkin hanya merasakan padamnya lampu selama dua jam. Meski sesaat, gelapnya malam ini menjadi pengingat besarnya semangat perjuangan resolusi jihad arek-arek Suroboyo.
Beberapa
periode, Kerajaan Aceh Besar yang berdaulat, pernah dipimpin oleh perempuan. Selain
Ratu Nur diatas, ada Sultanah Safiatuddin Syah, Ratu Inayat Zakiatuddin Syah,
Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah dan Ratu Nahrasiyah. Sementara yang terjun
ke medan pertempuran, ada Laksamana Malahayati, Cut Nyak Dien, Cut Meutia,
Pocut Baren dan Pocut Meurah Intan. Ada pula yang menjadi uleebalang (penguasa
lokal). Diantara panglima-panglima tersebut, yang banyak disebut-sebut oleh
pendatang Barat adalah Laksamana Malahayati. Mereka ini oleh peneliti barat
disejajarkan dengan Semiramis, Permaisuri Raja Babilon dan Katherina II Kaisar
Rusia.
1. Ratu Nahrasiyah
Dr.
C. Snouck Hurgronje terkagum-kagum menyaksikan sebuah makam yang demikian indah
di situs purbakala Kerajaan Samudera Pasai di Aceh Utara. Makam yang terbuat
dari pualam itu, merupakan makam yang terindah di Asia Tenggara. Makam yang
dihiasai dengan ayat – ayat Quran tersebut, adalah makam seorang raja perempuan
bernama Nahrasiyah. Ratu tersebut tentu seorang raja yang besar, terbukti dari
hiasan makamnya yang sangat istimewa. Ratu merupakan putri Sultan Zain
al-Abidin. Sayang, sedikit sekali sumber sejarah tentang dirinya – yang
memerintah lebih dari 20 tahun. Kerajaan Samudera Pasai senantiasa mengeluarkan
mata uang emas. Namun, kepunyaan Ratu sampai saat ini belum ditemukan.
Sementara itu, dirham ayahnya ditemukan – dimana disisi depan mata uang
tersebut tercantum “Zainal Abidin Malik az-Zahir”.
Nama
Sultan Zain al-Abidin dalam berita–berita Tiongkok dikenal dengan
Tsai-nu-li-a-ting-ki. Kronika Dinasti Ming (1368-1643) menyebutkan, Raja ini
mengirimkan utusan-utusannya yang ditemani oleh sida-sida China, Yin Ching
kepada mahararaja China, Ch’engtsu (1403-1424). Maharaja China kemudian
mengeluarkan dekrit pengangkatannya sebagai Raja Samudera dan memberikan sebuah
cap kerajaan dan pakaian kerajaan. Pada tahun 1415 Laksamana Cheng Ho dengan
armadanya datang mengunjungi Kerajaan Samudera. Diceritakan, Sekandar,
kemanakan suami kedua Ratu, bersama pengikutnya, merampok Cheng Ho.
Serdadu–serdadu China dan Ratu Kerajaan Samudera dapat mengalahkan Sekandar. Ia
ditanggap lalu dibawa ke Tiongkok untuk dijatuhi hukuman mati. Ratu yang
dimaksud dalam berita China itu tidak lain adalah Ratu Nahrasiyah.
2. Sultanah Safiatuddin Syah
(1641-1675)
Bersyukur
bahwa catatan tentang Sultanah Safiatuddin Syah cukup banyak sehingga dapat
memberikan gambaran yang memadai mengenai kepemimpinannya. Aceh Darussalam
merupakan sebuah kerajaan yang berdaulat. Syafiatuddin Syah yang lahir tahun
1612, anak tertua Sultan Iskandar Muda. Puteri Syafiatuddin tumbuh menjadi gadis
yang rupawan, cerdas dan berpengetahuan. Setelah dewasa, dia dinikahkan oleh
ayahnya dengan Iskandar Thani, putera Sultan Pahang yang dibawa ke Aceh setelah
dikalahkan oleh Sultan Iskandar Muda. Tahun 1636, Sultan Iskandar Muda
meninggal. Menantunya lalu diangkat menjadi Sultan Aceh. Lima tahun memerintah,
ia meninggal (15 Ferbruari 1642) tanpa memberikan keturunan. Tiga hari setelah
berkabung, para pembesar kerajaan sepakat mengangkat sang permaisuri menjadi
raja. Namun, menjelang penobatannya, muncul pertentangan. Ada dua alasan.
Pertama Sultan Iskandar Thani tidak berputra dan kedua, soal kelayakan
perempuan menjadi raja. Persoalan tersebut diserahkan kepada ulama senior yang
sangat berpengaruh saat itu, yaitu Tengku Abdurrauf dari Singkil. Ia menyarankan
pemisahan urusan agama dengan urusan pemerintahan. Dari sudut adat dan hukum
Islam, Syafiatuddin memenuhi sarat sebagai pemimpin. Selain itu, Syafiatuddin
memiliki kecerdasan dan pengetahuan yang cukup. Para ulama juga mengeluarkan
fatwa, bahwa urusan agama dan negara harus dipisahkan sepanjang keduanya tidak
saling bertentangan.
Sultanah
Safiatuddin Syah memerintah selama 35 tahun (1641- 1675). Inilah masa-masa yang
paling sulit karena situasi Malaka saat itu sedang panas dengan adanya
perseteruan VOC dengan Potugis merebut pengaruh sehingga sang ratu tidak bisa
terhindar darinya karena Aceh merupakan pusat dagang utama. Sultanah sangat
memperhatikan pengendalian pemerintahan, pendidikan, keagamaan dan
perekonomian. Namun, agak mengabaikan soal kemeliteran. Pada tahun 1668,
misalnya, ia mengutus ulama-ulama Aceh ke negeri Siam untuk menyebarkan agama
Islam. Sebagaimana ayahnya, ia pun sangat mendorong para ulama dan cerdik
pandai mengembangkan ilmu pengetahuan dengan mensponsori penulisan buku-buku ilmu
pengetahuan dan keagamaan. Dalam ekonomi, ia menerbitkan mata uang emas dan
menerapkan cukai bagi pedagang asing yang berdagang di Aceh. Dalam urusan
kenegaraan, ia membentuk dua lembaga pemerintahan, yaitu Balai Laksamana
(Angkatan Perang yang dikepalai oleh seorang Laksamana) dan Balai Fardah
(Lembaga yang mengatur keuangan kerajaan seperti pemugutan cukai dan
mengeluarkan mata uang).
Selain
itu, Sultanah membentuk lembaga tempat bermusyawarah, yaitu Balai Rungsari
(institusi yang terdiri empat uleebalang besar Aceh), Balai Gadeng
(beranggotakan 22 ulama besar Aceh), Balai Mejelis Mahkamah Rakyat (semacam DPR
yang beranggotakan 73 orang yang mewakili daerah pemukiman). Yang menarik
adalah, diantara 73 anggota dewan tersebut, terdapat sejumlah wanita. Ia adalah
seorang raja besar yang sangat dihormati oleh rakyatnya dan disegani oleh
negara asing (Belanda, Portugis, Inggris, India dan Arab). Ia meninggal 23
Oktober 1675. Oleh penurusnya, Sultanah Safiatuddin Syah tetap dihormati dengan
mencantumkan namanya Sultanah pada setempel / segel kerajaan. Selanjutnya,
kerajaan diperintah oleh Naqiatuddin dengan gelar Sri Sultan Nurul-Alam
Naqiatuddin Syah.
3. Ratu Inayat Zakiatuddin Syah
Naqiatuddin
Syah meninggal, digantikan oleh Inayat Zakiatuddin Syah. Menurut orang Inggris
yang mengunjunginya tahun 1684, usianya ketika itu sekitar 40 tahun. Ia
digambarkan sebagai orang bertubuh tegap dan suaranya lantang. Pada masa
pemeritahannya, Aceh mendapatkan kunjungan dari Inggris yang hendak membangun
sebuah benteng pertahanan guna melindungi kepentingan dagangnya. Ratu
menolaknya dengan mengatakan, Inggris boleh berdagang, tetapi tidak dizinkan
mempunyai benteng sendiri. Tentu Ratu tahu apa maksud dari benteng yang
dipersenjatai itu. Tamu lainnya adalah kedatangan utusan dari Mekkah. Tamu
tersebut bernama El. Hajj Yusuf E. Qodri yang diutus oleh Raja Syarif Barakat
yang datang tahun 1683. Dari utusan tersebut Ratu menerima sejumlah hadiah.
Sekembali ke Mekkah, utusan melaporkan kepada Raja Syarif betapa baik dan
sempurnanya pemerintahan Ratu Kerajaan Aceh yang rakyatnya taat memeluk Islam.
Sama halnya dengan dua ratu sebelumnya, Zakiatuddin Syah mengeluarkan mata uang
sendiri. Ratu meninggal 3 Oktober 1688 lalu digantikan oleh Kamalat Zainatuddin
Syah.
4. Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin
Syah
Sultanah
Naqiatuddin adalah puteri Malik Radiat Syah. Hal penting dan funamental yang
dilakukan oleh Naqiatuddin pada masa pemerintahannya adalah melukakan perubahan
terhadap Undang Undang Dasar Kerajaan Aceh dan Adat Meukuta Alam. Aceh dibentuk
menjadi tiga federasi yang disebut Tiga Sagi (lhee sagoe). Pemimpin Sagi
disebut Panglima Sagi. Maksud dari pemerintahan macam ini agar birokrasi
tersentralisasi dengan – menyerahkan urusan pemerintahan dalam
kenegarian-kenegarian yang terbagi Tiga Sagi itu. Namun, setiap Sagi tidak
berarti melakukan pemerintahan sendiri-sendiri. Untuk situasi sekarang, sistim
pemerintahan Kerajaan Aceh dulu sama dengan otonomi daerah. Sultanah juga
menyempurnakan Adat Meukuta Alam yang dulu dirancang oleh Sultan Iskandar Muda.
Hal lain yang dilakuakan oleh Sultanah adalah mengeluarkan mata uang emas. Masa
pemerintahannya yang singkat (1675-1678), memang tidak ada prestasi besar yang
dicapainya. Bebarapa peristiwa besar dialaminya, terbakarnya Mesjid Raya
Baiturrahman dan Istana yang banyak menyimpan kekayaan emas dan perhiasan.
5. Ratu Kamalat Zainatuddin Syah
Silsilah
ratu ini tidak banyak diketahui. Ada dua versi tentang asal usulnya. Perkiraan
pertama ia anak angkat Ratu Sultanah Safiatuddin Syah dan lain pihak mengatakan
ia adik Ratu Zakiatuddin Syah. Yang jelas, Ratu Zakiatuddin Syah berasal dari
keluarga-keluarga Sultan Aceh juga.
Pada
masa Kamalat Syah bertahta, para pembesar kerajaan terpecah dalam dua
pendirian. Golongan orang kaya bersatu dengan golongan agama menginginkan kaum
pria kembali menjadi Sultan. Kelompok yang tetap menginginkan wanita menjadi
raja adalah Panglima Sagi. Perbedaan pendapat itu sebetulnya bukan sesuatu yang
baru dan pernah menimbulkan kontak senjata. Namun, kemudian kedudukan Kamalat
Syah tidak dapat lagi dipertahankan setelah para ulama meminta pendapat dari
Qadhi Malikul Adil dari Mekkah. Dalam surat balasannya, Malikul Adil menyatakan
bahwa kedudukan wanita sebagai raja bertentangan dengan syariat Islam. Ia turun
tahta pada bulan Oktober 1699. Pada masa pemerintahannya, ia mendapatkan
kunjugan dari Persatuan Dagang Perancis dan serikat dagang Inggris East Indian
Company. Ia sempat pula mengeluarkan mata uang emas
6. Laksamana Malahayati atau
“Keumalahayati”
Wanita Aceh yang satu ini bukanlah
pendekar komik dari negeri antah barantah. Ia benar-benar ada. Keumalahayati
namanya. Ia seorang Laksamana (Panglima Perang) Kerajaan Aceh. Malahayati
merupakan figur yang banyak muncul dalam cacatan penulis asing dan bangsa
Indonesia sendiri. Malahayati menjadi Panglima Angkatan Perang kerajaan Aceh
pada masa pemerintahan Sultan Al Mukammil (1589-1604). Ia mendapat kepercayaan
menjadi orang nomor satu dalam militer dari sultan karena keberhasilannya
memimpin pasukan wanita. Ia berasal dari keturunan sultan. Ayahnya, Mahmud
Syah, seorang laksamana. Kakeknya dari garis ayahnya, juga seorang laksamana
bernama Muhammad Said Syah, putra Sultan Salahuddin Syah yang memerintah tahun
1530-1539. Sultan Salahhuddin sendiri putera Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah
(1513-1530) pendiri kerajaan Aceh Darussalam. Dilihat dari asal keturunannya,
darah meliter berasal dari kakeknya. Pembentukan pasukan wanita yang semuanya
janda yang disebut Armada Inong Bale itu merupakan ide Malahayati. Maksud dari
pembentukan pasukan wanita tersebut, agar para janda tersebut dapat menuntut
balas kematian suaminya. Pasukan ini mempunyai benteng pertahahanan. Sisa–sisa
pangkalan Bale Inong masih ada di Teluk Kreung Raya.
John
Davis, seorang berkebangsaan Inggris, nahkoda kapal Belanda yang mengunjungi
Kerajaan Aceh pada masa Malahayati menjadi laksamana, melaporkan, Kerajaan Aceh
pada masa itu mempunyai perlengkapan armada laut terdiri dari 100 buah kapal
perang, diantaranya ada yang berkapasitas 400-500 penumpang. Ketika itu Kerajaan
Aceh memiliki angkatan perang yang kuat. Selain memiliki armada laut, di darat
ada pasukan gajah. Kapal-kapal tersebut bahkan juga ditempatkan di berbagai
tempat kekuasaan Aceh. Kekuatan Keumalahayati mendapat ujian ketika terjadi
kontak senjata antara Aceh dengan pihak Belanda. Pada tanggal 21 Juni 1599, dua
kapal Belanda yang dipimpin dua bersaudara Coernelis de Houtman dan Federick de
Houtman berlabuh dengan tenang di Aceh. Karena mendapat hasutan dari Portugis,
Laksamana Malahayati menyerang kedua kapal tersebut. Dalam penyerangan itu,
Cornelis de Houtman dan beberapa anak buahnya terbunuh. Sedangkan Federick de
Houtman ditawan dan dijebloskan ke tahanan Kerajaan Aceh. Sesuatu yang
menggegerkan bangsa Eropa dan terutama Belanda – sekaligus menunjukkan
kewibawaan Laksamana Keumalahayati ketika Mahkamah Amstredam menjatuhkan
hukuman denda kepada van Caerden sebesar 50.000 gulden yang harus dibayarkan
kepada Aceh.
Uang
sejumlah itu benar-benar dibayarkan kepada yang berhak. Bayar denda tersebut
adalah buntut tindakan Paulus van Caerden ketika datang ke Aceh menggunakan dua
kapal menenggelamkan kapal dagang Aceh serta merampas muatan lada lalu pergi
meninggalkan Aceh. Peristiwa penting lainnya selama Malahayati menjadi Laksama
adalah ketika ia mengirim tiga utusan ke Belanda, yaitu Abdoelhamid, Sri
Muhammad dan Mir Hasan ke Belanda. Ketiganya merupakan duta-duta pertama dari
sebuah kerajaan di Asia yang mengunjungi negeri Belanda. Banyak cacatan orang
asing tentang Malahayati. Kehebatannya memimpin sebuah angkatan perang ketika
itu diakui oleh negara Eropa, Arab, China dan India. Namanya sekarang melekat
pada kapal perang RI, KRI Malahayati.
7. Cut Nyak Dien
Nama Cut Nyak Dien bagai sebuah
legenda. Setelah suaminya, Teuku Umar meninggal, ia memilih melanjutkan
perjuangan bersenjata dengan pilihan : hidup atau mati di hutan belantara
daripada menyerah kepada Belanda. Ia membiarkan dirinya menderita dan lapar di
hutan sambil terus dibayangi oleh pasukan marsose Belanda yang mengejarnya.
Adakalanya ia berminggu-minggu tidak menjumpai sesuappun nasi, makan apa saja
ditemui di hutan. Ia melakukan itu selama 6 tahun. Ketika itu ia sudah tua dan
matanya rabun. Bila mau, dia bisa menghindari kehidupan seperti itu. Hanya
orang yang luar biasa yang menjalaninya. Bagaimana tidak. Ia tumbuh sebagai
anak yang manja. Sebagai anak uleebalang, ia setaraf dengan wanita bangsawan
lainnya. Ia lahir tahun 1848. Ayahnya, Teuku Nanta Setia, seorang uleebalang.
Ibunya juga keturunan bangsawan. Sebagai lazimmnya anak bangsawan, Cut Nyak
Dien mendapatkan pendidikan yang baik, terutama pendidikan agama dan
pengetahuan tentang rumahtangga. Setelah dewasa, ia dijodohkan dengan Teuku
Ibrahim. Dari pernikahannya itu, ia memperoleh seorang anak laki-laki. Ia
mendukung sepenuhnya apa yang dilakukan oleh suaminya di medan peperangan.
Bahkan, Cut Nyak Dien aktif di garis depan. Akibatnya ia jarang berkumpul
dengan suami dan anaknya.
Karena
Belanda lebih unggul soal persenjataan dan pengkhianatan yang dilakukan oleh
orang Aceh sendiri, lama-lama daerah kekuasaan Aceh semakin banyak jatuh ke
tangan Belanda – termasuk daerah yang dikuasai Cut Nyak Dien. Cut Nyak Dien dan
keluarganya terpaksa mengungsi. Pada tanggal 28 Juni 1878, Teuku Ibrahim dan
pengikutnya gugur dalam pertempuran. Cut Nyak Dien menjadi janda muda, namun
tetap cantik. Kebencian Cut Nyak Dien terhadap Belanda makin membara. Lalu
terucaplah janjinya, lelaki yang dapat membalas kematian suaminya, akan
diterimanya sebagai suami. Seorang lelaki pejuang, Teuku Umar akhirnya menebus
kematian suaminya. Sebagaimana janjinya, maka ia menikah dengan Teuku Umar.
Bersama Cut Nyak Dien, Teuku Umar memarakkan lagi peperangan melawan Belanda.
Cut Nyak Dien dengan pengikutnya melakukan perang gerilya. Dari pernikahannya
dengan Teuku Umar, ia mendapat seorang anak yang diberi nama Cut Gambang.
Kemudian anaknya dinikahkan dengan Teuku Di Buket, anak lelaki Teuku Cik Di
Tiro. Pada 11 Februari 1899, Teuku Umar tewas dalam pertempuran. Cut Nyak Dien
kembali menjadi janda. Peperangan ia teruskan seorang diri.
“… selama aku masih hidup, masih berdaya, perang suci
melawan kafir ini kuteruskan …” bagian sumpah Cut Nyak Dien sepeninggal
suaminya. Ia memimpin peperangan dari persembunyianya di gunung-gunung.
Kehidupan
Cut Nyak Dien amat sengsara. Ia tidak memiliki apa–apa lagi kecuali semangat
pantang menyerah. Ia pun ditinggalkan banyak pengikutnya. Mungkin karena tidak
tega melihat penderitaan Cut Nyak Dien, Pang Laot Ali, selaku panglimanya mulai
berpikir menyerah sebagai jalan membebaskan Cut Nyak Dien dari penderitaan.
“Takluk kepada kaphe ? Cis, najis, semola Allah Subhanahu Watala menjauhkan
perbuatan yang sehina itu dari diriku,” ujar Cut Nyak Dien. Namun, Pang Laot
Ali tetap tidak sampai hati melihat penderitaan pemimpinnya. Pang Laot Ali
membuat perjanjian dengan pihak Belanda agar tidak menyakiti Cut Nyak Dien.
Sebagaimana petunjuk Pang Laot, persembunyian Cut Nyak Dien ditemukan oleh
Belanda. Dalam keadaan buta dan lemah, ia mengangkat kedua tangannya dengan
kesepuluh jarinya dikembangkan. Dari mulutnya keluar kata-kata “Ya, Allah, ya
Tuhan inikah nasib perjuanganku ? Di dalam bulan puasa aku diserahkan kepada
kafir”. Dengan tandu, Cut Nayak Dien dibawa Belanda. Tanggal 11 Desember 1906,
Pemerintah Belanda mengasingkan Cut Nyak Dien dan kemanakannya ke Sumedang,
Jawa Barat. Pada 9 November 1908 ia meninggal.
8. Cut Meutia
Memegang pedang yang sudah
dikeluarkan dari sarungnya, rambut terurai, tanpa ada keraguan sedikit pun, Cut
Nyak Meutia menyongsong pasukan Belanda yang dipimpin oleh Mosselman. Satu
peluru di kepala dan dua di tubuhnya merubuhkan wanita yang digambarkan
berparas cantik, kulit kuning berambut panjang. Ia tewas tangal 25 Oktober 1910
di hulu Sungai Peutoe setelah pengejaran yang melelahkan oleh pasukan elit
Belanda. Cut Muetia lahir tahun 1870. Ayahnya, Teuku Ben Daud, seorang
uleebalang Pirak yang setia terhadap Sultan Aceh, Muhammad Daud Syah. Ibunya
bernama Cut Jah. Ia mempunyai empat saudara laki-laki. Cut Meutia tumbuh
menjadi gadis cantik dan bertubuh indah dengan pembawaan yang lembut. Pesonanya
sesuai dengan namanya Muetia yang diartikan Mutiara. Kecantikan dan kehalusan
budinya membuat dirinya menjadi primadona.
Banyak
pria yang hendak meminangnya sampai akhirnya ia menikah dengan Teuku Syamsarif
seorang uleebalang tahun 1890 dalam sebuah pernikahan yang agung sebagai anak
uleebalang. Dibalik wajahnya yang lembut dan tutur bahasanya yang santun itu,
hatinya sebetulnya bagai kawah gunung berapi yang bergelegak memendam kebencian
terhadap Belanda sebagaimana juga ayahnya dan saudara-saudaranya. Sebagai anak
bangsawan yang dimanjakan, ia sebetulnya tidak menuntut kemewahan dan
kemanjaan. Dirinya adalah lambang penderitaan rakyatnya. Kepribadiannya itu
tidak dapat diubah oleh siapapun, termasuk oleh suaminya sendiri. Pandangan dan
kepribadiannya seperti itu sangat bertentangan dengan suaminya yang senang
kedudukan, kemewahan serta mengagungkan martabat tinggi.
Untuk
memenuhi kesenangannya, ia bersedia bekerja sama dengan Belanda. Ia memangku
uleebalang atas pilihan Belanda. Sedangkan jauh sebelumnya, Sultan Aceh,
Muhammad Daud Syah sudah mengangkat Teuku Cut Mahammad, adik Teuku Syamsarif
sebagai uleebalang. Jadi, ketika itu, di Keureutoe terdapat dua uleebalang.
Kakak beradik itu bagai langit dan bumi. Sang kakak berkiblat kepada Belanda, sedangkan
sang adik berpihak kepada kemerdekaan.
Antara
Cut Meutia dengan Teuku Syamsarif seperti campuran minyak dengan air. Cut
Meutia sudah berusaha membujuk suaminya agar berpaling dari penjajah, tetapi
tidak pernah ditanggapi. Karena tidak juga diindahkan, Cut Meutia meminta
diceraikan saja oleh suaminya. Akhirnya Cut Meutia kembali kepada orangtuanya.
Karena Teuku Syamsarif tidak menjemputnya dan juga memberikan nafkah, maka
mereka dianggap sudah bercerai. Bercerai dari suaminya, gelora jiwanya terlepas
bebas sudah. Ia pun ikut bergerilya bersama ayah dan saudara-saudaranya. Namun,
Teuku Ben Daud tidak mengizinkannya karena yang ia seorang janda. Kemudian ia
dinikahkan dengan Teuku Cut Muhammad (Chik Tunong) dan barulah ia benar-benar
ikut angkat senjata. Seterusnya ia mendampingi suaminya berperang. Tanggal 5
Maret 1905, Teuku Chik Tunong tertangkap kemudian dihukum tembak. Sebelum
dijatuhi hukuman, ia meminta bertemu dulu dengan Cut Meutia dan anaknya Teuku
Raja Sabi, 5 tahun. Ia berpesan agar melanjutkan perlawanan terhadap Belanda,
anaknya dididik agar terus mempunyai kebencian terhadap Belanda. Cut Muhammad
menyarankan menikah Cut Meutia dengan Pang Naggore.
Pang
Nanggroe adalah seorang panglima perang cerdik dan licin. Setelah melahirkan
anaknya dari Chik Tunong, akhirnya Cut Meutia menikah dengan Pang Nanggroe.
Bersama suaminya yang ketiga ini, Cut Meutia meneruskan perjuangan sampai
akhirnya ditemukan Belanda. Perjuangannya diteruskan oleh anaknya, Teuku Raja
Sabi.
9. Pocut Baren
Pocut Baren lahir di Tungkop. Ia
putri seorang uleebalang Tungkop bernama Teuku Cut Amat. Daerah uleebalang
Tungkop terletak di Pantai Barta Aceh. Suaminya juga seorang uleebalang yang
memimpin perlawanan di Woyla. Pocut Baren merupakan profil wanita yang tahan
menderita, sanggup hidup waktu lama dalam pengembaraan di gunung dan hutan
belantara mendampingi suaminya. Ia disegani oleh para pengikut, rakyat dan juga
musuh. Ia berjuang sejak muda dari tahun 1903 hingga tahun 1910.
Ia
memimpin pasukannya di belahan barat bersamaan dengan Cut Nyak Dien ketika
masih aktif dalam perjuangan. Ia telah mempersiapkan dirinya – bila kelak
ditinggalkan oleh suaminya dan sudah tahu apa harus diperbuat nantinya. Ketika
suaminya tertembak Belanda, tidak membuat Pocut Baren mundur. Semangatnya malah
semakin menggebu.
Suatu
penyerangan besar-besar dibawah pimpinan Letnan Hoogers, meluluhkan benteng
pertahanan Pocut Baren. Kaki Pocut Baren tertembak dan dibawa ke Meulaboh.
Selama ditawan di Meulaboh, luka tembaknya tidak kunjung membaik. Kemudian
Pocut Baren dibawa ke Kutaraja untuk dilakukan pengobatan lebih intensif.
Namun, dokter memutuskan kakinya diamputasi. Selama dalam tawanan, Pocut Baren
diperlakukan dengan baik. Sebagai penghargaan atas dirinya, Belanda
menghadiahkan sebuah kaki palsu untuknya – yang didatangkan khusus dari
Belanda. Ia wafat tahun 1933. Meninggalkan rakyatnya yang sangat mencintainya.
10. Pocut Meurah Intan
Pocut Meurah Intan seorang puteri
bangsawan dari kalangan Kesultanan Aceh. Ayahnya Keujruen Biheue berasal dari keturunan
Pocut Bantan. Pocut Meurah menikah dengan Tuanku Abdul Majid, salah seorang
anggota keluarga Sultan Aceh. Ia seorang pejabat bea cukai pelabuhan yang gigih
menantang kehadiran Belanda. Dari pernikahannya dengan Tuanku Abdul Majid,
Pocut Meurah mendapat tiga anak laki-laki. Belanda mencatat, bahwa Pocut Meurah
salah satu figur dari Kesultanan Aceh yang paling anti Belanda. Dalam laporan
kolonial (Koloniaal Verslag) tahun 1905, sampai tahun 1904, satu-satunya tokoh
dari kalangan Kesultanan Aceh yang belum menyerah dan tetap bersikap anti
terhadap Belanda adalah Pocut Meurah Intan. Semangat anti Belanda yang teguh
itulah yang diwariskannya pada puteranya sehingga mereka bersama-sama dengan
pejuang Aceh lainnya menentang Belanda. Ia bercerai dengan suaminya karena
Tuanku Abdul Majid menyerahkan diri kepada Belanda. Lalu ia mengajak
anak-anaknya terus berperang. Dua diantara anaknya, Tuanku Muhammad Batee dan
Tuanku Nurdin, kemudian menjadi terkenal sebagai pemimpin pergerakan.
Intensitas
patroli Belanda yang semakin meningkat, membuat Pocut Meuran Intan bersama
kedua putranya tertangkap marsose. Namun, sebelum tertangkap, ia masih sempat
melakukan perlawanan yang amat mengagumkan pihak lawan. Valtman, pemimpin
pasukan Belanda yang berpengalaman di Aceh dan baik hati, menyebutnya sebagai
heldhaftig (gagah berani). “Kalau begitu, biarlah aku mati,” ucap Pocut Meuran
Intan. Lalu ia mencabut rencongya menyerbu brigade tempur Belanda. Ia mengalami
luka parah. Terbaring di tanah digenangi darah dan lumpur. Veltman mengira ia
tewas lalu meninggalkannya. Kata Valtman, biar dia meninggal ditangan bangsanya
sendiri. Pocut Meuran Intan ternyata masih hidup. Ia diselamatkan. Veltman
kemudian mengirim dokter untuk merawat luka-lukanya. Namun, Pocut Meuran
menolak dokter Belanda itu. Ia sembuh, tetapi kondisi tubuhnya tidak lagi
sekuat sebelumnya. Kemudian, bersama putranya, Pocut Meurah Tuanku Budiman
dimasukkan ke penjara. Sementara putranya yang lain, Tuanku Nurdin tetap
melanjutkan perjuangan sampai kemudian ditahan oleh Belanda. Pocut Meurah Intan
yang pincang dengan kedua putranya 6 Mei 1905 kemudian diasingkan ke Blora,
Jawa. Pada 19 Septembar 1937 Pocut Meurah Intan meninggal.
Komentar
Posting Komentar