Nisa'kan Nestapa...



“Nisa kau yang sabar, karena semua itu sudah menjadi kehendak-Nya”. Dea mencoba menenangkan.
“Astaghfirullah ujian apa lagi ini, Dea. Kenapa gak ada selesainya? Rasanya aku tak sanggup lagi.”
Isak tangisku  memenuhi ruangan. Tak malu lagi dengan sorotan mata dari orang sekeliling yang sedari tadi tampak bingung memperhatikan. Tak urung sebenarnya mereka terganggu dengan tangisan, barang kali merusak waktu peristirahatan pasien-pasien lain, tapi laskar rundungnya duka ini seakan mampu mereka rasakan merambat  seperti aliran listrik dengan daya beribu volt.
“Dik, coba kau tanya pak dokter, barangkali sudah dijinkan pulang. Sekedar untuk mengikuti pemakaman.” Sahut seorang lelaki yang kebetulan menjaga istrinya yang sedang sakit diruangan itu.
“Nisa, kamu disini dulu aku keruang dokter sebentar ya.”
“Dea, usahan aku bisa pulang hari ini juga Dea. Aku ingin ikut pemakaman bapak.” Tangisku masih keras meski berbalut pelukan sahabat karibku.
Malang memang terasa nasib ini, bayangan sesosok lelaki separuh baya itu terus beterbangan dalam bola mataku yang lembam. Kehangatan canda dan tawa beberapa tahun terakhir ini seperti jarum yang menusuk sang bayang-bayang. Terasa dan benar-benar sakit.
Di lorong depan Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Temanggung.
“Dokter, maaf apakah Nisa sudah diijinkan pulang?”. Dea berjalan memgiringi langkahnya.
“Nisa, pasien yang diruang marwah itukah?”
“Iya dok, yang tadi siang operasi patah tulang?”.
Seketika dokter membalikkan badan, menatap tajam mata Dea. Pandangan itu terheran akan raut wajah Dea yang tampak rundung. Usapan air mata yang masih berbekas di bawah kelopak mata itu, menyiratkan pertanyaan dalam benak dokter Iriana.
“Sepertinya, pasien masih harus istirahat. Bukankah operasi baru selesai  tadi.”
“Maaf dok, jika diijinkan Nisa meminta ijin untuk pulang, sekedar mengikuti pemakaman ayahnya yang baru saja meninggal dunia.” Matanya tak mampu lagi mendongakkan wajah, sekedar menutup cucuran air mata yang mungkin akan kembali membasahi areola yang bisa tampak. Tak mampu lagi dibendung kesedihan yang ada dalam hatinya. Bagaimanapun pak Soleh sudah seperti bapaknya sendiri. Tak lagi mampu air matanya terbendung dalam pondasi tegar. Dan tak mampu lagi hatinya menyembunyikan bayang duka yang menyertakan semburat kecewa, meski bunga iman terus membisik keikhlasan yang teraromakan mewangi surga.
“Nak maaf ibu tak bisa banyak membantu, pasien tetap harus istirahat, resiko jika nantinya pasien memaksakan untuk pulang.”
“Tapi buk, sebentar saja apa tidak boleh? insyaAllah tidak akan terjadi apa-apa buk.” Dea berusaha mendapat ijin.
“Kembalilah, katakana padanya. Ujian Allah tidaklah mungkin dari luar batas kemampuan manusia. Bersabarlah dan kuatkan hati dengan iman.”
Gelagar terjang jeruji kecitaan, purnama menundukkan malam dalam persembunyian pandang. Gelap dan tak terlihat secercah cahaya diantara kabut yang menyelimut alam. Deringan mesin disepanjang jalan absen dari kebisingan, sebab hujan sore hari masih tercium dari indra terjemah siulan roma Tuhan.

Komentar

Postingan Populer