Secercah Pun Jujurku Takkan Lebur....



Nia masih terbuai dalam kehangatan selimut minionya lengkap dengan boneka minion  yang wajib menggantikan bantal guling. Sesekali memerhati aku berharap si kebluk ini bangun dan membantuku membereskan baju yang beberapa hari belum sempat terlepas dari keringat maupun kotoran yang tertempel.
“Nia, ayo dong bangun. Mbak hari ini ada interview”.
“Lima menit lagi ya.”
“Nia, dari tadi kamu bilang lima menit, lima menit terus. Bangun udah adzan itu lo.”
Kesal dengan kebiasaan lamanya, aku pun berlalu meninggalkanya besama pelukan mimpi di kaki subuh. Beruntung dengan masa laluku dipanti yang terbiasa dengan pekerjaan rumah tangga, dalam keadaan genting seperti saat ini dari faktor terpaksa, terbiasa bahkan kini berubah menjadi kemahiranku mulai dari menyiapkan mencuci baju, membersihkan rumah, dan menyiapkan sarapan pagi.
Tidak seperti biasanya, depan kost tempatku berada tidak di kerumuni mahasiswa-mahasiswi yang setiap pagi memburu gorengan atau pun lauk. Memang hari ini aku memutuskan untuk tidak jualan sekedar untuk persiapan interview siang nanti, selain karena Nia terlihat kecapekan setelah seharian kemaren menemaniku keliling kota untuk mencari lowker. Sehingga alarm si jago dipagi buta pun tak berlaku, karena libur jualan lantas kami tidak pergi ke  pasar pagi.
Terima kasih tak terhingga untuk Dia yang telah mengirimkanku seorang sahabat sepertinya, dalam kesedihan, dan tangis perjuanganku dialah yang selalu memberikan aku semangat dan menghapus air mata yang sesekali terpaksa jatuh di ruang keterputus asaan yang sempat singgah. Nasibnya jauh lebih baik dariku, segala yang diinginkan tak perlu lama untuk dimiliki. Keputusanya untuk belajar mandiri membawanya masuk dalam perangkap hidupku yang tak seindah skenario kehidupanya. Hidup berdua di kamar kost yang kecil menjadi salah satu pengalamanya.
“Nduk sudah tengah bulan, mbah cuma mau mengingatkan, tagihan listrik, air sudah mbah terima. Kapan mau bayar kost?”
“Iya mbah, maaf kalo bulan ini saya minta keringanan dulu. Awal bulan depan boleh mbah?”
“Gimana ya, mbah tidak enak dengan anak kost yang lain, kamu sering mbah kasih keringanan. Takut nanti yang lain pada iri.”
“InsyaAllah hari ini saya interview mbah, doakan semoga menjadi rejeki saya untuk diterima kerja.”
“Ya sudah, awal bulan ya.”
Sengaja hari ini Nia aku ajak ikut pergi ke kampus. Karena dosen pun tidak memahami satu persatu mahasiswa-mahasiswinya maka Nia aman mengikuti pelajaran dikelas layaknya seperti mahasiswa-mahasiswi lain. Untuk tahun ini akulah yang mulai mencoba mendaftar terlebih dulu masuk kuliah, dan rencana tahun depan Nia menyusul. Hubungan kami sudah tak lagi seperti sahabat, Nia sudah seperti adikku sendiri. Mungkin saat dipanti dulu aku memiliki banyak saudara, adik kakak dan pengurus panti yang sudah mengurusku sekian tahun lamanya. Meskipun tiga saudara kandungku jauh di pulau Sumatra, dan bapakku yang sudah terlebih dulu meninggalkanku disaat aku masih belia, kesepian tidak pernah menghampiriku, bagiku semua orang yang dekat denganku adalah keluargaku.
Pukul 12.30. Kuliah jam ke 3 selesai. Waktunya untuk isoma, begitupun juga denganku. Tak seperti anak-anak lain jam jeda perkulihan aku selalu pulang kost, kebetulan jaraknya tidak terlalu jauh kisaran 15 menit dari kampus utama. Setelah selesai sholat aku dan Nia bergegas pergi menuju alamat yang sehari sebelumnya telah dikirim oleh manager personalia tempatku melamar pekerjaan entah kapan tepatnya, mungkin berminggu-minggu lalu. Tak sempat makan siang, takut terlambat interview. Karena keterbatasan pengetahuan kami yang baru tinggal di Wonosobo, nama daerah yang dituju pun kami tak tahu.
“Ya Allah apa dosaku, kenapa Kau uji aku sedemikian rumitnya. Hanya ingin mencari ilmu-Mu Allah aku niatkan semua ini. Mudahkan urusan hamba.” Terbendung air matanya trasa ingin tumpah. Kegelisahan hatinya semakin memburu saat motor yang dinaikinya macet ditengah jalan.
“Nia, kenapa?”
“Aduh mbak, Nia lupa belum isi bensin. Habis uang kita tinggal dikit mbak. Masih untuk sisa setengah bulan kedepan.”
“Kan bisa pake uang modal gorengan dulu Nia.”
“Iya takutnya habis lagi uangnya kayak kemaren itu, kita gak bisa jualan. Mbak sih aku mau minta uang ibu aja gak boleh, kan lumayan bisa bayar kost, terus juga gak makan sama sambal mulu.”
“Udah Nia, jangan banyak alasan. Kita dorong motornya InsyaAllah bentar lagi nyampe ke alamat ini. Dengarkan bapak-bapak tadi bilang kan, perumahanya di samping kanan jembatan itu.”
AzzamMart. Semoga ini menjadi jawaban dari doa-doaku selama ini. Tampak beberapa orang sedang duduk di ruang tamu. Beberapa sibuk mempersiapkan diri untuk menghadap saat namanya dipanggil. Syukur Alhamdulillah, tidak terlalu terlamabat kedatanganku, meskipun dalam urutan terakhir aku masih bisa mengikuti interview.
“Kamu ikut interview juga ya, kenalin aku Dina.”
“Ehmm…iya. Namaku Diah. Mbak kira-kira kalau sambil kuliah bisa masuk gak ya?”
“Hah…kamu kuliah juga to, gini nanti kalo pas interview jangan bilang kalau kamu kuliah. Itu tips biar bisa diterima.”
“ Gitu ya mbak, apa tidak sebaiknya jujur saja mbak, nanti kalau ketahuan dibelakang gimana?”
“Ya itu cuma saran aja kok.”
Setelah beberapa saat menunggu tibalah namaku dipanggil. Gugup dan rasa takut tidak bisa dipungkiri lagi, hatiku terus berdoa mengucapkan mantra-mantra pengusir takut, berharap Allah memudahkan urusanku dihari ini dan seterusnya. Tak berlangsung lama petanyaan demi petanyaan dilontarkan dan aku jawab semuanya dengan tegas, jelas dan tiada kebohongan sama sekali. Tak ingin memualai sesuatu dengan hal buruk, kusampaiakan motivasi kerjaku yang memang aku butuhkan kerjaan yang bisa sambil kuliah. Dan memang aku bekerja untuk biaya kuliahku.
Sehari kemudian setelah interview adalah jawaban diterima tidaknya, aku menjadi karyawan AzzamMart. Memang tidak diberitahu secara langsung, karena pihak sana ingin mempertimbangkan dan pengumuman disampaikan lewat sms ataupun telepon.
Seharian aku menunggu tidak ada sms, maupun telepon yang masuk. Satu jam berlalu, dua jam, dan sampai menjelang malam tak kunjung juga ada kabar. Bingung dan khawatir menyatu memenuhi hati yang tak bisa lagi dikatakan seperti apa keadaanya. Kabar dari Mbak Dina kenalan saat interview diterima kerja membuat hati ini semakin tak karuan.
Ya Allah kenapa ini, kenapa mbak Dina udah dipanggil kerja. Aku belum dapat kabar apa-apa. Ya Allah aku harus gimana, sudah berkali-kali aku mencari kerjaan dan ditolak karena alasan tidak bisa sambil kuliah.
Ya Allah tolonglah aku, ini kesempatanku. Apa aku harus ikuti kemauan ibuku untuk nikah.
Ya Allah, aku sungguh ingin merubah nasibku, tolonglah aku. Aku ingin kuliah. Aku ingin memberikan contoh untuk adik-adik pantiku, aku ingin…aku ingin…
Ya Allah aku mohon…
“Mbak Nia, mbak…ada telepon. Jangan ngurung dong, sabar, nangis gak akan menyelesaikan masalah.”
 Entah seperti apa keadaanku saat itu, pikiranku masih buyar. Teringat tagihan kost, biaya makan, biaya kuliah, dan juga biaya hidup Nia yang saat itu memutuskan untuk ikut aku, secara tidak langsung kebutuhanya pun ikut menjadi tanggunganku. Sempat terlintas rasa kesal terhadap hidup yang terasa tidak adil dipihakku. Kenapa harus seperti ini, ibuku yang sebatang kara harus hidup terserang penyakit miskin yang terus menggerogoti, sedang diri ini berjuang memperbaiki nasib seperti ini.
“Mbak, istighfar. Allah itu adil, dan sayang sama mbak. Lihat tadi pak Eko sms, kata dia mbak diterima. Dan tadi mbak Dina bilang dia gak jadi diterima karena pas ditempatkan dicabang yang agak jauhan mbak Dina ngaku kalo dia kuliah, jadi akhirnya mbak  deh yang diterima. Ini semua berkat kejujuran mbak.”
“Serius kamu Nia, jangan bohongin mbak lagi kamu.”
Gak mbak, mbak besuk udah bisa mulai kerja dan bisa sambil kuliah”
Allahu akbar…
Kejujuran akan selalu membuahkan hasil.

Komentar

Postingan Populer